Selasa, 23 November 2010

Hari Ini, 16 Tahun Yang Lalu



aku dan engkau menyatu
memenuhi janji awal saat kita belum lagi bertemu
janji yang terjalin di alam ruh

lalu Tuhan meniupkan cinta
di setiap hati kita
untuk saling menemukan jiwa

setelah itu
tugas kitalah menemukan rasa
memindai surga
di setiap helaan nafas dan peristiwa

Kekasih
hari ini, 16 tahun yang lalu
kau ajak aku meniti jalan ini

telah sampai dimana kita?
diantara tugas kehambaan pada Pemilik Sejati?
telahkah kita menghamba dengan benar
telahkah kita menghamba dengan ikhlas

telahkah kita melahirkan nilai?
atas nama kebersamaan dan tanggung jawab penghambaan?

aku bertanya padamu, duhai Cinta
telah sampai dimana kita?

(16 tahun perjalanan)

Selasa, 16 November 2010

Status Waspada, Terhadap Apa ....??


Miris, prihatin, sedih, nelangsa, segala rasa campur aduk melihat gambar hidup terpampang di televisi setiap hari, saat terjadi letusan Merapi, tsunami Mentawai, banjir Wasior, dan segala macam bentuk bencana yang tengah melanda negeri ini.

Kecemasan lantas meninggi saat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebukan bahwa ada 21 gunung berapi lagi di Indonesia yang dalam kondisi aktif. 18 gunung berstatus waspada, 2 gunung berstatus siaga, dan 1 gunung berstatus awas.

Menurut informasi yang saya baca disini, nama-nama gunung yang berstatus waspada antara lain : Gunung Kerinci di Jambi, Gunung Talang di Sumatra Barat, Gunung Anak Krakatau di Lampung, Gunung Papandayan di Jawa Barat, Gunung Dieng dan Gunung Slamet di Jawa Tengah, Gunung Rinjani dan Gunung Rokatenda di Flores, Gunung Bromo di Jawa Timur, Gunung Soputan di Minahasa, Gunung Dukuno di Halmahera, dan Gunung Gamalama di Ternate.

Sedang gunung yang berstatus siaga yaitu Gunung Karangetang di Sulawesi Utara dan Gunung Ibu di Halmahera Barat. Satu gunung berstatus awas tetap dipegang Gunung Merapi di Sleman Yogyakarta.

Negeri ini memang 'kaya' akan gunung berapi. Dan kita sudah biasa hidup berdekatan dengannya, sejak lama sebelum kita lahir. Tapi saat ia (gunung berapi) itu dinyatakan aktif dan bergolak, tak urung kita dilanda kecemasan. Cemas, akan apa yang akan terjadi, mengingat demikian dahsyat akibat yang disebabkan oleh letusannya. Terlebih lagi bagi saudara kita yang hidup berdampingan dengan gunung-gunung yang disebutkan tadi. Setelah informasi itu tersebar, maka sedikit banyak, ada sebuah kekhawatiran yang melanda, meski kadarnya berbeda pada setiap orang.

Saya tinggal di Garut, berdekatan dengan Gunung Papandayan. Statusnya kini "Waspada". Meski faktanya status waspada Gunung Papandayan sejatinya telah terjadi sejak lama. Kenaikan dari 'aktif normal' menjadi 'waspada' pernah terjadi pada Kamis, 2 Agustus 2007. Sejak hari itu telah beberapa kali terjadi gempa, yakni 1 kali gempa tektonik jauh, 1 kali gempa vulkanik A, 2 kali gempa vulkanik B, dan 116 kali gempa tremor. Lama gempa antara 5,5 sampai 75 detik." Sumber : dari sini

Saya tak mengerti benar maknanya, yang saya tahu adalah Papandayan tengah bergolak meski belum sampai pada 'titik didihnya' hingga meletus. Dan kita perlu tetap waspada.

Semua orang khawatir, semua waspada.

Sejatinya, kewaspadaan tak hanya berlaku di saat situasi tak aman atau mengancam semata. Kewaspadaan perlu ditanam kuat dalam jiwa setiap saat. Terlebih saat ini. Saat ancaman melanda dari setiap sisi, setiap tempat, setiap ruang, setiap waktu. Bukan sekedar ancaman gempa akibat letusan gunung, melainkan ancaman yang lebih dahsyat dari itu. Ancaman yang menggempur tak kenal ampun, justru melalui jalan yang tak kasat mata.

Terkadang tak terindera.

Ancaman yang tampil dengan busana berkesan, tak nampak mengancam. Seperti ancaman yang tumbuh dari diri sendiri, malas, sombong, dengki, hasud, khianat, alpa berbagi, merasa telah cukup beribadah, duka berkepanjangan, kufur nikmat (tak mampu bersyukur) dan companyonnya. Ancaman yang datang dari orang-orang tercinta, seperti cinta kasih yang berlebihan, rengekan untuk permintaan yang tak pantas, lalu kita 'iya'kan, dan sebagainya.

Atau ancaman dari luar. Adat dan norma lingkungan yang mulai pudar, membuat batas antara yang hak dan batil menjadi buram. Sulitnya memisahkan hitam dan putih dewasa ini. Makin tipisnya urat malu, hingga sering kita melihat manusia berpakaian tetapi 'telanjang', atau setiap orang bicara kebenaran menurut versi mereka sendiri,
pembiaran kebodohan dan kemunkaran terjadi di sekitar kita padahal kita mampu meniadakannya.

Apalagi yang patut diberi status Waspada dan Siaga, selain hilangnya ciri-ciri kemanusiaan kita?

Saya tak bermaksud untuk tak peduli terhadap pencegahan bencana dan mengacuhkan status waspada sebuah gunung. Akan tetapi, selain ancaman besar yang tengah kita hadapi dan perlu kita waspadai, kita harus pula mewaspadai ancaman yang lebih besar lagi. Ancaman bagi eksistensi ruh kemanusiaan.

Gunung itu telah meletus, laut itu telah meluap, banjir itu telah melanda, jangan biarkan hati kita ikut tercerabut. Jangan biarkan iman kita terbawa hanyut. Waspadalah! Ancaman lebih dahsyat tengah mengintai kita, dan kita tak menyadarinya.

Mari kita kembali ke kebeningan ...

Sabtu, 13 November 2010

Dunia Dengan Koma

Pernah nonton Dunia Tanpa Koma, kan? Itu adalah serial televisi yang dibintangi Dian Sastro, Tora Sudiro, Fauzi Baadilla, Slamet Rahardjo dan berderet aktor papan atas lain. Serial itu ditayangkan beberapa tahun lalu, di tahun 2006. Saya sangat suka serial itu, karena sangat berbeda dengan serial televisi lain (baca : sinetron) lain yang banyak bertebaran.

Serial itu bercerita tentang kehidupan seorang wartawati muda bernama Raya Maryadi (Dian Sastrowardoyo) yang ingin terlibat dalam arus perubahan negeri melalui investigasinya yang kuat untuk membongkar jaringan narkotika nasional pimpinan Jendra Aditya (Surya Saputra), mantan kekasihnya. Disini disisipi juga kisah asmara Raya dengan Bayu (Tora Sudiro) dan Bram (Fauzi Baadilla).

Meski ada kisah percintaan, serial ini tak terjebak pada kisah yang dangkal. Yang menarik justru disini banyak digambarkan tentang pola kerja dunia jurnalis yang tak mengenal waktu dalam menjalankan tugas kejurnalistikannya. Itulah sebabnya ia diberi judul "Dunia Tanpa Koma". Sayang, serial ini tak pernah ditayang-ulang seperti layaknya serial-serial lain. Dari wikipedia saya tahu, serial ini hanya satu musim tayang karena buruknya rating. [begitulah kenyataannya di negeri ini, film bermutu seringkali jeblok di rating .... hhhhh (menghela nafas berat)]

Tapi bukan itu sebenarnya yang ingin saya bagi (hehe ... prolognya panjang buenerrrr)
Keliatan banget si saya sangat suka serial itu.

Ini tentang aktivitasku di sekolah bersama anak-anak. Kebetulan, sejak 2 tahun ini saya (ceritanya) membina buletin "BASIK" Bacaan Siswa Kreatif dan Kritis, yakni buletin sekolah yang dikelola dan digawangi oleh siswa-siswi MTsN Garut. MTs adalah sekolah/madrasah setingkat SMP di bawah naungan Kementerian Agama. Jadi ia adalah SMP Plus (dengan tambahan 5 pelajaran agama). Disinilah setiap hari saya menjalankan tugas, 'bermain' bersama buku dan anak-anak.


Sejatinya saya bukan seorang jurnalis. Pernah sih di kurun waktu dahulu berkiprah di dunia radio (siaran, reportase, scriptwriter, denger2 lagu, kirim2 salam hehe ...) tapi, itu kan dulllu! Meski demikian, saya selalu suka dengan hal-hal yang 'berbau' jurnalistik. Nah, kembali ke pokok soal, saya dikejar deadline! (waduh gayanya, serasa jadi jurnalis beneran).

Deadline-nya sudah pasti gak sama dengan deadline sebuah harian beroplag besar. Ini deadline-deadline-an. Ini adalah sebuah pembelajaran. Bagiku dan bagi anak-anakku. Mengajak anak-anakku, the "B" Team, untuk disiplin dengan rencana yang telah mereka design sendiri. Disiplin sejak mereka mulai menentukan topik, narasumber dan segala macamnya di Rapat Redaksi. Belajar mengasah naluri sens of news (istilah ngarang) di setiap saat.

Maka karena masih dalam tahap 'belajar', learning by doing, saya sebut aja Dunia Dengan Koma. Saat kami melalui tahap pengetikan naskah, dilakukan di sela-sela jam istirahat. Bila usai sekolah harus dilanjutkan, tak pernah hingga sore atau maghrib. Maklumlah, anak-anakku masih pula harus ikut bimbingan belajar di lembaga kursus. Belum lagi bila saat ujian atau tugas tengah menumpuk. Jadi, bisa kebayang kan? Naskah-naskah (wawancara, liputan acara, artikel, cerpen, puisi, foto kegiatan, dll) itu terpaksa harus menunggu. Dunia Dengan Koma, banyak jedanya!

Senang, melihat antusiasme mereka dalam memilih narasumber, menentukan topik, dan berbagi tugas. Harus sabar, menerima keluh kesahnya saat mengejar narasumber, saat berbeda pendapat dengan kawan, saat ia merasa sibuk sendiri sedang yang lain 'nyantai', saat distribusi mandek, saat sulit mengumpulkan naskah dari pembaca. Setiap saat. Perlu teliti, memeriksa dan mengoreksi hasil tulisan mereka (maklum, anak-anakku sedang masa ABG, ejaannya banyak yang 'aduuuuh' gak ngerti), berdiskusi dan menyepakati kapan dan di rubrik apa bahasa gaul bisa ditulis. Ya, hal-hal yang (nampak) remeh-temeh itulah yang kini kugeluti.

Anak-anakku, mari terus berproses ...
Kelak, jadi apapun kalian, negeri ini ladang amalmu. Menjadilah kalian yang terbaik ...

Selasa, 09 November 2010

memahami sebuah pesan

tak pernah ada kata terlambat
untuk memahami sebuah pesan
selama kita masih bersedia menghirup bau tanah dan air hujan
yang tak bosan menyentuh bumi
pun saat matahari terjaga
meski mengintip malu di sudut pagi

yang tak kumau hanyalah
kehabisan waktu
untuk mengenali tanda-tanda
yang tak pernah bosan Kau kirimkan
lewat angin, daun, batu, awan, sungai dan nyanyian burung
lewat segala apa yang ada
dan yang tiada
tapi terasa

aku rebah disini
dalam ketakterkatakan rasa
sekedar mencari tahu
inikah tanda-tanda?

izinkan aku
sedikit saja memahami

gambar : ichwankalimasada.wordpress.com

Jumat, 05 November 2010

Kepada Para Pengemudi Mobil


Pernah kehujanan? sering.
Pernah hujan-hujanan? pernah.
Pernah main air? sering, malah suka.
oke

Kuganti pertanyaannya
Pernah main air mancur? suka, kalau lagi nyiram tanaman, atau lagi jalan-jalan liat air mancur di taman kota.
Pernah kena air mancur? pernah.
Pernah kena air muncrat? ya, kan sama juga dengan air mancur!
Ya, tidak sama dong!
Maksudnya?
Air muncrat itu gak seindah air mancur, jadi rasanya juga beda.

Nih, kuberi tahu.
Tadi aku kena air muncrat di jalanan.
Hahaha ...!
kok malah ketawa? Ups, maaf. Kenapa?
karena sebuah mobil dengan jumawa nyalip motor yang kunaiki, lalu genangan air itu 'nyembur' keseluruhan diriku dengan sempurna! basaaah!!
hmmmh ....

Kuperhatikan kejadian itu sering berulang, bukan padaku tapi pada beberapa orang di jalan raya. Ketika mobil melintas, tak sedikitpun sang pengemudi memperlambat laju mobil saat melintasi genangan air untuk menghindari semburan air ke 'tetangga' sesama pengendara yang tidak senyaman mobil, motor misalnya, atau pejalan kaki di pinggir jalan. Maka akibatnya jelas, tetangga itu kena air muncrat!

Tak semua pengemudi mobil begitu, tentu saja.
Sejatinya, mengemudi sama halnya dengan berperilaku, selalu harus menyertakan empati dan tepo seliro. Dimanapun, manusia hidup berdampingan. Tidak peduli apakah ia mengenal atau tidak orang yang berdampingan dengannya. Keseluruhan perilaku dan tindakannya (serta segala yang tidak dia lakukan) selalu berdampak pada lingkungan sekitarnya, langsung ataupun tidak.
Maka, saat kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun, kita harus mengasah kepekaan bahwa kita tak pernah sekejappun hidup sendiri! Bahkan pada saat kita tengah menyendiri ...