Pernah nonton Dunia Tanpa Koma, kan? Itu adalah serial televisi yang dibintangi Dian Sastro, Tora Sudiro, Fauzi Baadilla, Slamet Rahardjo dan berderet aktor papan atas lain. Serial itu ditayangkan beberapa tahun lalu, di tahun 2006. Saya sangat suka serial itu, karena sangat berbeda dengan serial televisi lain (baca : sinetron) lain yang banyak bertebaran.
Serial itu bercerita tentang kehidupan seorang wartawati muda bernama Raya Maryadi (Dian Sastrowardoyo) yang ingin terlibat dalam arus perubahan negeri melalui investigasinya yang kuat untuk membongkar jaringan narkotika nasional pimpinan Jendra Aditya (Surya Saputra), mantan kekasihnya. Disini disisipi juga kisah asmara Raya dengan Bayu (Tora Sudiro) dan Bram (Fauzi Baadilla).
Meski ada kisah percintaan, serial ini tak terjebak pada kisah yang dangkal. Yang menarik justru disini banyak digambarkan tentang pola kerja dunia jurnalis yang tak mengenal waktu dalam menjalankan tugas kejurnalistikannya. Itulah sebabnya ia diberi judul "Dunia Tanpa Koma". Sayang, serial ini tak pernah ditayang-ulang seperti layaknya serial-serial lain. Dari wikipedia saya tahu, serial ini hanya satu musim tayang karena buruknya rating.
[begitulah kenyataannya di negeri ini, film bermutu seringkali jeblok di rating .... hhhhh (menghela nafas berat)]
Tapi bukan itu sebenarnya yang ingin saya bagi (hehe ... prolognya panjang buenerrrr)
Keliatan banget si saya sangat suka serial itu.
Ini tentang aktivitasku di sekolah bersama anak-anak. Kebetulan, sejak 2 tahun ini saya (ceritanya) membina buletin
"BASIK" Bacaan Siswa Kreatif dan Kritis, yakni buletin sekolah yang dikelola dan digawangi oleh siswa-siswi MTsN Garut. MTs adalah sekolah/madrasah setingkat SMP di bawah naungan Kementerian Agama. Jadi ia adalah SMP Plus (dengan tambahan 5 pelajaran agama). Disinilah setiap hari saya menjalankan tugas, 'bermain' bersama buku dan anak-anak.

Sejatinya saya bukan seorang jurnalis. Pernah sih di kurun waktu dahulu berkiprah di dunia radio (siaran, reportase, scriptwriter, denger2 lagu, kirim2 salam hehe ...) tapi, itu kan dulllu! Meski demikian, saya selalu suka dengan hal-hal yang 'berbau' jurnalistik. Nah, kembali ke pokok soal, saya dikejar deadline! (waduh gayanya, serasa jadi jurnalis beneran).
Deadline-nya sudah pasti gak sama dengan deadline sebuah harian beroplag besar. Ini deadline-deadline-an. Ini adalah sebuah pembelajaran. Bagiku dan bagi anak-anakku. Mengajak anak-anakku, the "B" Team, untuk disiplin dengan rencana yang telah mereka design sendiri. Disiplin sejak mereka mulai menentukan topik, narasumber dan segala macamnya di Rapat Redaksi. Belajar mengasah naluri sens of news (
istilah ngarang) di setiap saat.
Maka karena masih dalam tahap 'belajar',
learning by doing, saya sebut aja Dunia Dengan Koma. Saat kami melalui tahap pengetikan naskah, dilakukan di sela-sela jam istirahat. Bila usai sekolah harus dilanjutkan, tak pernah hingga sore atau maghrib. Maklumlah, anak-anakku masih pula harus ikut bimbingan belajar di lembaga kursus. Belum lagi bila saat ujian atau tugas tengah menumpuk. Jadi, bisa kebayang kan? Naskah-naskah (wawancara, liputan acara, artikel, cerpen, puisi, foto kegiatan, dll) itu terpaksa harus menunggu. Dunia Dengan Koma, banyak jedanya!
Senang, melihat antusiasme mereka dalam memilih narasumber, menentukan topik, dan berbagi tugas.
Harus sabar, menerima keluh kesahnya saat mengejar narasumber, saat berbeda pendapat dengan kawan, saat ia merasa sibuk sendiri sedang yang lain 'nyantai', saat distribusi mandek, saat sulit mengumpulkan naskah dari pembaca. Setiap saat.
Perlu teliti, memeriksa dan mengoreksi hasil tulisan mereka (maklum, anak-anakku sedang masa ABG, ejaannya banyak yang 'aduuuuh' gak ngerti), berdiskusi dan menyepakati kapan dan di rubrik apa bahasa gaul bisa ditulis. Ya, hal-hal yang (nampak) remeh-temeh itulah yang kini kugeluti.
Anak-anakku, mari terus berproses ...
Kelak, jadi apapun kalian, negeri ini ladang amalmu. Menjadilah kalian yang terbaik ...