Senin, 26 September 2011
Selipat Pagi dan Seutas Cermin, Tentang Alia ...
Pagi menyeruak diam-diam, angin bergeming.
Alia terjaga, terpaku di ambang sadarnya. Pukul 03.10. Ada yang membangunkannya. Apa? Dikumpulkannya ingatan yang sempat hilang tadi malam. Hilang oleh batas yang dibangun antara jaga dan impian. Dilisankannya doa, lalu semuanya terkumpul begitu saja.
Cermin di kamarnya berbicara tadi malam. Hidupnya demikian memabukkan, dengan seribu satu aroma mawar tanpa duri. Orangtua yang bahagia, adik kakak saling menyayangi, tetangga baik, sahabat setia, kakek nenek penuh kasih, wajah tak membosankan untuk dilihat, perilaku yang terjaga, ekonomi tak kekurangan dan seribu satu alasan orang untuk cemburu.
“Apa itu salah?” gugatnya bingung. Biasanya cerminnya ngikut aja apa maunya.
“Salah? Terkadang hidup bukanlah soal benar dan salah,” lembut warisan buyutnya yang sudah mengisi kamarnya sejak ia berani tidur sendiri itu berkata.
“Tidakkah kamu ingin berterimakasih?”
“Kepada ...?” alis semut beriringnya bertautan indah. Sang cermin memantulkan keseluruhan dirinya tanpa bias sedikitpun. Sungguh sebuah pemindaian sempurna yang hanya berubah saat retak.
“Menurutmu ...?” Bayangannya seolah mengejek. Berapa puluh tahun kau hirup energi yang disediakan langit buatmu. Masih saja benakmu mati oleh hal yang sedemikian sederhana.
Alia tersengat.
“Hidupku, ia datang lalu aku meraihnya, tak kubiarkan ia hilang begitu saja. Bahagia, aku sendiri yang perjuangkan. Ayah ibu, mereka malah bersyukur punya aku. Aku bukan orang yang demikian bebalnya hingga tak pernah berterimakasih bahkan kepada yang menyebabkan semua ini terjadi. Bila Tuhan yang kau maksud,” jelas-jelas Alia jengkel, merasa diuji. Sejak kapan cerminnya lebih pintar ketimbang dia. Noda sedikit saja tak bisa ia bersihkan sendiri. Tangan Alia ini pembersih kilapnya. Setiap waktu.
Ada pendar yang menahan senyum di wajah cermin.
Alia menunggu. Hanya bayangannya yang innocent. Pendar itu cuma sekejap.
Alia geram.
“Tuhan. Aku tak pernah melupakanmu. Tanpa perlu cermin sok tahu itu mengajari, aku tahu”
“Ha ha ... bersama hatimu jugakah, Alia?” tawa cermin membahana seantero kamar.
Sekuat tenaga Ali timpuk dengan bantal. Dasar cermin sok tahu!
Malam itu Alia diam semalaman. Menatapi dirinya, hidupnya, kesehariannya, cita-citanya, hidupnya. Alia menerawang ke sekelilingnya, menatapi teman-temannya, orang-orang sekota, sekampung, senegara. Secara alami mereka semua menjalani garis hidupnya. Dengan segala baik buruknya, sedih senangnya, warna warni dunia geraknya. Alami. Tak ada yang perlu diributkan. Sesekali riuh, sesekali badai, sesekali menggugat, adalah kewajaran. Sungguh, hidup di mata Alia demikian simpel dan jauh dari njelimet. Hatinya ringan saja.
Malam itu Alia menelisik lebih dalam. Cermin itu alasannya.
Perjalanan malam ia lakoni. Mengingat ibu, merasai cinta, menghayati kesendirian, memaknai keterdiaman, menelusuri lorong tak beridentitas. Menyusuri tepian hati, masuk perlahan, diam-diam makin ke dalam, melewati palung hingga ke dasar.
Dan Alia menemukan sesuatu yang asing.
Matanya meneteskan airmata jauh dari kedalaman yang tak ia kenali. Tak bisa dilerai, tak mampu ditahan. Alia tersedu oleh sebab yang tak ia ketahui. Entah darimana semua itu datang. Bahkan Alia baru menyadari betapa berlimpah persediaan tangisnya. Justru oleh sebab yang ia tak tahu.
Ketakutankah? Alia tidak sedang merasa ketakutan.
Penyesalankah? Sesal yang tak ia ketahui oleh sebab perilakunya yang mana.
Kesedihankah? Sedih yang datang tiba-tiba oleh sebab yang ia tak tahu.
Seribu satu jawab yang ia ‘pantaskan’ untuk alasan mengalirnya airmata. Tak jua memenuhi syarat bagi sebuah jawaban yang ia inginkan.
Alia terkapar sendirian. Cerminnya menatap diam. Hingga pagi.
Alia terjaga, terpaku di ambang sadarnya. Pukul 03.10. Ada yang membangunkannya. Apa?
“Tuhan. Yaa Allaaaahhh .....” lisannya seketika bergerak. Digerakkan oleh sesuatu Yang Tak Terindera. Alia tak berdaya.
Pagi menyeruak diam-diam, angin bergeming.
Alia bangkit, hatinya bergumam, “Sombongnya aku berkata tak pernah melupakanMU, padahal sejatinya aku baru saja mengenalMU. Baru saja, ya Allah ... Itupun karena Engkau yang menghampiri. Dalam diamku, dalam ketidaktahuanku, dalam pencarianku. Saat aku tertatih, Engkau berlari memelukku. Yaa Allaaaaah .......”
Pagi menyeruak diam-diam, embun menetes satu satu, ada tangis Alia dalam genggamanNya.
Seutas cermin memantulkan cahaya.
Ada GERAK yang menyebabkan semuanya terjadi.
Sungguh Allah Mahameliputi sesuatu.
Pagi, cermin, Alia ... semua dalam Genggaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
semoga kita semua bisa belajar, seperti Alia :)
BalasHapusgood Artikel ^_^
BalasHapussemoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari artikel ini ^_^
@ Rakun = Rumah : aamiin, ya Allah ... terimakasih sudah mampir
BalasHapusjadi pengin ketemu alia...
BalasHapusoh, alia. rinduku padamu
masih seperti dulu.