Tugas kita adalah mendampingi anak-anak untuk tumbuh sesuai,
bukan membuatnya meledak
Mario Teguh
bukan membuatnya meledak
Mario Teguh
Keseharian sebagai seorang ibu adalah peran paling penting yang saya emban sejak empat belas (tepatnya 14 tahun 1 bulan 21 hari) yang lalu. Selama itu pula saya tak henti belajar dari semua lini untuk menggenapkan peran keibuan saya.
Teori pengasuhan telah berjejal di benak, bahkan jauh sebelum saya menikah, ternyata tak dapat dibilang cukup untuk bekal mendampingi pertumbuhan anak-anak. Ada banyak kejadian yang tak bisa diselesaikan (disikapi serta dinikmati) hanya dengan setumpuk teori. Peran keibuan (dan kebapakan) lebih banyak membutuhkan penyertaan hati dan jiwa. Coba bandingkan dengan pola asuh dan pola didik para orangtua zaman dulu. Mereka tak mengenal segala macam teori pengasuhan, namun dengan keikhlasan sepenuh bumi, mereka isi batin anak-anaknya dengan cinta, jauh dari pemaksaan dan target pencapaian apapun. Mereka hanya selalu ada, bersama anak-anaknya, di saat anak-anak membutuhkannya (baik secara nyata, maupun jiwa).
Peran keibuan memaksa saya untuk terus memperbaiki niat dan menjaga lisan. Sebab nyatanya, meski telah tahu ilmunya, prakteknya tidaklah semudah melihat-lihat halaman buku. Ada banyak hal yang harus disertakan dalam diri, yakni kesediaan mendengar, memahami, memberi, merasa, yang kesemuanya bermuara pada keikhlasan.
"Masa sih gak ikhlas jadi seorang ibu?"
Nyatanya, secara tidak disadari bayak orangtua yang membuatnya anaknya tertekan. Mungkin oleh target pencapaian orangtua yang dibebankan pada anak. Bagi saya, itu adalah bentuk lain dari ketidakikhlasan orangtua (ibu) menerima anak apa adanya.
Mengapa saya resah dengan ini? Karena saya ingin anak-anak kita berani menjadi diri sendiri. Apapun warna pribadinya, bagaimanapun sulitnya ia berkata-kata, darimanapun ia berasal, dari golongan berada ataupun papa. Dan anak-anak seperti itu akan lahir dari ibu yang menyediakan ruang yang lapang untuk jiwa kanak-kanaknya, bukan dari ibu yang banyak tuntutan!
Saya tak henti melantunkan doa pertolongan agar Allah Yang Maha Halus senantiasa menolong saya menggenapkan peran keibuan yang dibebankan di pundak kecil ini. Sebab tanpa pendampinganNya, saya tak mampu mengantarkan mereka ke gerbangNya dengan selamat. Bukan sekedar "lahir" yang saya bincangkan, melainkan lebih ke sisi ruh yang akan menguatkan mereka, menyongsong bumi yang kian berat menyangga beban. Sebab dengan ruh yang memiliki bobot keilahian, siapa yang akan kuat membuatnya goyah?
Saya bermimpi, dari rumah-rumah mungil kita, duhai para ibu, kelak akan lahir pejuang keadilan dan pembela kebenaran di negeri ini.
Mimpi itu bisa terwujud, bukan?
Teori pengasuhan telah berjejal di benak, bahkan jauh sebelum saya menikah, ternyata tak dapat dibilang cukup untuk bekal mendampingi pertumbuhan anak-anak. Ada banyak kejadian yang tak bisa diselesaikan (disikapi serta dinikmati) hanya dengan setumpuk teori. Peran keibuan (dan kebapakan) lebih banyak membutuhkan penyertaan hati dan jiwa. Coba bandingkan dengan pola asuh dan pola didik para orangtua zaman dulu. Mereka tak mengenal segala macam teori pengasuhan, namun dengan keikhlasan sepenuh bumi, mereka isi batin anak-anaknya dengan cinta, jauh dari pemaksaan dan target pencapaian apapun. Mereka hanya selalu ada, bersama anak-anaknya, di saat anak-anak membutuhkannya (baik secara nyata, maupun jiwa).
Peran keibuan memaksa saya untuk terus memperbaiki niat dan menjaga lisan. Sebab nyatanya, meski telah tahu ilmunya, prakteknya tidaklah semudah melihat-lihat halaman buku. Ada banyak hal yang harus disertakan dalam diri, yakni kesediaan mendengar, memahami, memberi, merasa, yang kesemuanya bermuara pada keikhlasan.
"Masa sih gak ikhlas jadi seorang ibu?"
Nyatanya, secara tidak disadari bayak orangtua yang membuatnya anaknya tertekan. Mungkin oleh target pencapaian orangtua yang dibebankan pada anak. Bagi saya, itu adalah bentuk lain dari ketidakikhlasan orangtua (ibu) menerima anak apa adanya.
Mengapa saya resah dengan ini? Karena saya ingin anak-anak kita berani menjadi diri sendiri. Apapun warna pribadinya, bagaimanapun sulitnya ia berkata-kata, darimanapun ia berasal, dari golongan berada ataupun papa. Dan anak-anak seperti itu akan lahir dari ibu yang menyediakan ruang yang lapang untuk jiwa kanak-kanaknya, bukan dari ibu yang banyak tuntutan!
Saya tak henti melantunkan doa pertolongan agar Allah Yang Maha Halus senantiasa menolong saya menggenapkan peran keibuan yang dibebankan di pundak kecil ini. Sebab tanpa pendampinganNya, saya tak mampu mengantarkan mereka ke gerbangNya dengan selamat. Bukan sekedar "lahir" yang saya bincangkan, melainkan lebih ke sisi ruh yang akan menguatkan mereka, menyongsong bumi yang kian berat menyangga beban. Sebab dengan ruh yang memiliki bobot keilahian, siapa yang akan kuat membuatnya goyah?
Saya bermimpi, dari rumah-rumah mungil kita, duhai para ibu, kelak akan lahir pejuang keadilan dan pembela kebenaran di negeri ini.
Mimpi itu bisa terwujud, bukan?
Semoga saya yg jadi pertamanya...
BalasHapusAlhamdulillah ya Allah...
BalasHapusBentar ya Mbak, saya tak baca dulu.
hmmmm.... sungguh ini adalah sosok seorang Ibu yg sangat didambakan anak2nya, betapa bahagianya sang suami memiliki pasangan yg pintar memposisikan diri seperti Mbak Annie ini.
BalasHapusSubhanallah...
Btw, usia pernikahannya udah 14th ya Mbak? Kalo saya malah baru 9 tahun jalan, masih terlalu kanak2 untuk ukuran sebuah kehidupan berumah tangga.
Tidak apa jika daku menjadi keempat saja hehehehe
BalasHapusBenarkah aku yg kelima?
BalasHapusAnak-anak adalah anak panah masa depan yg dilepaskan dari busur masa kini. Mereka buka dari masa kita tapi mereka ada di hari depan yang berbeda dg hari ini. Hari ini adalah sekedar cetakan pertama untuk memberikan mereka bekal di hari nanti.
BalasHapusSungguh ini adalah tulisan menyentuh banget dari sosok seorang ibu yang sangat menguatamakan nilai edukatif dan religiusitas dalam perkembangan jiwa anak-anaknya.
BalasHapus@ Kang Sugeng : duh, kang, doakan agar saya dapat selalu menjadi sosok yang tepat buat suami dan anak-anak, ya.
BalasHapusUsia pernikahan saya 15 tahun, kang. 14 tahun itu usia saya menjadi serang ibu.
Aku yakin pasti mbak Annie akan bisa menjadi ibu yg baik buat anak2 mbak kok...
BalasHapusamiiiiin amiiiiiiin... pasti terwujud!!!
BalasHapussuatu saat nanti pasti terwujud. Allah maha mendengar setiap doa, maha mengabulkannya pula. jangan khawatir...
Insyaallah terwujud semua mimpi kita sebagai ibu,tersentuh saya membacanya ceu...postingan terjadwal sayapun mengenai mimpi kita sebagai ibu...dari kelembutan hati seorang ibu membuat segala cara yg terbaik ingin diberikan untuk sang buah hati.
BalasHapussalam ..
BalasHapusMoga anakku nanti jadi insan yang kamil dan berguna kepada negara dan agamanya.
saya ikhlas menjadi ayah bu dan mengenai doanya semoga Dikabulkan oleh Allah
BalasHapus@ ivan + kedai kopi : betul, Van. Anak-anak milik masa depan, ia hidup di masa yang akan datang
BalasHapus@ Fanda+ Elsa + Latifah + Setiakasih : Amiiin ya Allah ...
salam sobat
BalasHapusbagus banget artikelnya mba ANNIE,,
iya masa ngga ihklas jadi seorang ibu,,,
memang jadi ibu ngga semudah membalik halaman buku ya,,
harus bersedia mendengar, menerima dll yang semua bermuara keihklasan.
teteh...indah nian ungkapan hatimu, harapan yg benar2 tulus dari seorang ibu..:)
BalasHapusSuara hati seorang ibu yang jadi kebanggaan anak-anaknya...begitu menyentuh
BalasHapusAmin. Semoga harapan, mimpi kita menjadi kenyataan. Tulisan mantap mbak.
BalasHapusIbu saya :
BalasHapus"Sayangku, menjadi Ibumu artinya setiap hari harus belajar mengenalmu"
Orang tua harus mengenal siapa anaknya. Banyak orang tua yang bahkan kurang mengenal siapa anaknya. Barangkali karena inilah, muncul banyak tuntutan, pemaksaan, seperti yang Teh Annie ulas di atas.
siap ngga ya kalo nanti saja jadi seorang ibu? hmm
BalasHapussooo sweeett...
BalasHapusSaya yakin Mbak bisa menjadi seorang Ibu yang baik dan sekaligus isteri yang berbakti.Amin
BalasHapusmba bener2 ibu yg hebat dan penuh kasih,ijinkan aku belajar dari mu mba.
BalasHapusmembaca tulisan ini membangkitkan semanagt belajar untuk lebih belajar dan menggali ilmu menjadi bunda yg baik.