Kakek saya, Endus Supena, selama hampir 60 tahun tak pernah absen menulis catatan harian, bahkan pada saat yang terbadai (meminjam istilah Abdurrahman Faiz, penulis cilik putera penulis Helvy Tiana Rosa).
Beliau menulis secara rutin, tak terjeda, sejak usia 40 tahun sampai ajal menjemputnya di usia 107 tahun. Sebegitu setianya beliau pada catatan, kemanapun pergi buku harian tak pernah tertinggal. Aki (begitu saya menyapanya) dengan buku harian laksana gula dengan manisnya. Ia adalah dua kata berbeda tetapi memiliki satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Banyak permata yang saya dapat dari perjalanan hidup aki, diantaranya adalah pesan untuk selalu "menulis catatan hidup" sehari-hari. Meskipun peristiwa itu tak berarti dan remeh, tuliskan. Sebab kelak, saat waktu tak lagi sama, ia akan berubah menjadi sejarah yang tak terduga! Maka, tuliskanlah sekecil apapun artinya itu untukmu. Selami dan renungkan keseharian itu dalam bentuk kata-kata, maka kau akan menemukan betapa berharganya hidup, betapa berartinya dirimu dan alangkah sia-sianya waktu bila tak diisi dengan perbuatan.
Maka, ketika aki meninggal dunia, saat jasadnya tak lagi bersama kami, yang teringat dari peninggalan aki bukanlah harta dan tanah, melainkan buku catatan harian. Buku-buku itulah yang kami jadikan pusaka peninggalan tak ternilai.
Buku harian itu berjumlah 58 buah. Setiap 1 buku menyimpan perjalanan 1 tahun atau 1 tahun 3 bulan, tak sama, tergantung banyak tidaknya tulisan beliau. Semua catatan penting kelahiran, aqiqah, kematian, kelulusan, pernikahan para anak cucu mantu lengkap tertulis. Tiga malam pertama kepergiannya kami isi dengan membaca kisah hidupnya sekaligus perjalanan kelahiran serta kenakalan dan kesehaian kami anak cucu mantunya. Duh ... aki, hatur nuhun !
Kesetiaan.
Itulah yang saya genggam dari ketekunan aki menulis kesehariannya.
Kesetiaan pada hidup.
Kesetiaan pada keturunan.
Kesetiaan pada kebiasaan yang menjadikannya berarti.
Bagi saya ini sungguh luar biasa !
Sebuah mozaik yang dengan cermat beliau susun dalam hidup yang telah dianugerahkan Allah Yang Mahahidup. Mozaik itu kemudian menjelma sebuah pusaka sarat nilai yang beliau persembahkan bagi keturunannya. Tentunya untuk dijadikan teladan.
Kini...
mampukan saya menulis terus setiap hari?
Selama ini selalu saja ada rentang waktu yang kosong, baik hitungan hari atau bahkan minggu, lembaran harianku putih, tak ada kata, tak ada rasa. Tak pernah konsisten !
Konsistensi!
Itulah sesungguhnya yang diajarkan aki lewat kesetiaannya pada catatan harian.
Ternyata, menulis setiap hari, benar-benar setiap hari, tak semudah yang saya bayangkan. Di dalamnya terdapat banyak sekali virus kemalasan, ngantuk atau bahkan lupa!
Padahal, kata Pak Hernowo penulis "Spirit Iqra", menulis dan juga membaca akan menumbuhkan dendrit ( salah satu komponen penting di otak yang berfungsi mengalirkan dan mengait-ngaitkan informasi).
Pantas saja aki berumur panjang dan tak pikun hingga akhir hayatnya! Otaknya terus bekerja ...
Lagipula Sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, mewasiatkan : "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."
Lalu kalau begitu, agar selalu sehat, bernas, dan tak cepat pikun : teruslah menulis. Tulis apa saja.
Saur pun aki oge : Diajar nyerat, supados sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...