Setiap diri diciptakan Tuhan untuk sebuah tugas. Tuhan tak mungkin menciptakan sesuatu dengan sia-sia, Robbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa. Ia tak mungkin menciptakan sesuatu yang rusak dan tidak berguna. Lalu untuk apa kita diciptakan ? Apakah setiap manusia memiliki tugas yang sama sebagai khalifah fil ardl?
Mari kita mengerucutkan pertanyaan ini hanya untuk keberadaan diri sendiri. Untuk setiap kita, apa yang telah kita lakukan untuk membangun eksistensi diri ? Apa yang telah kita kerjakan untuk mengabarkan pada orang terdekat bahwa kita ada dan penting bagi mereka ? Apa yang telah kita lakukan untuk kebaikan orang sekeliling ? Bagaimana kita bersikap kepada suami, istri dan anak-anak ? Bentuk perhatian seperti apa yang telah kita persembahkan kepada kedua orangtua ? Sumbangan apa yang dapat kita bagikan kepada tetangga, rekan kerja, atasan, bawahan atau kerabat ? Bagaimana sikap kita terhadap alam dan lingkungan ? Apakah orang-orang merasa nyaman dekat dengan kita?
Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu menggambarkan kita saat ini. Lalu benarkah untuk hal-hal yang demikian itu Tuhan menurunkan kita di dunia ini ?
Ketika setiap diri menjadi lebih baik dari hari ke hari, maka secara otomatis ia akan menjelma menjadi pendorong bagi kebaikan orang lain. Ketika setiap diri memaksimalkan apa yang dia miliki dari titipan Tuhannya berupa bakat, keinginan untuk maju, kebutuhan berbagi, kebahagiaan memberi, kebersamaan merasakan, maka sesungguhnya ia telah mengetahui untuk apa ia diciptakan.
Pribadi mulia Rasulullah saw telah bersabda : “Seorang mukmin tak akan pernah puas dengan kebaikan hingga berakhir dengan surga.” Kebaikan yang dimaksud oleh Rasul telah dengan sabarnya beliau tuntunkan kepada kita. Tinggallah kita yang menentukan bersediakah kita dituntun menuju surga ?
Dalam perjalanannya mencapai tujuan penciptaan, kita dihadapkan dengan banyak sekali ujian dan godaan, untuk menentukan kedudukan, menakar kwalitas kemanusiaan serta menilai derajat kemuliaan kita sebagai manusia.
Untuk itu dibutuhkan keikhlasan untuk meniru dan mengikuti jejak manusia termulia di bumi ini, Rasulullah saw, tanpa kecuali. Jika sedikit saja kita lengah, jangan-jangan kita keliru dengan prasangka kita sendiri, yakni keyakinan akan pengakuan diri bahwa kita adalah ummatnya, sementara beliau tak mengakui kita melalui sabdanya : “…. Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukanlah ummatku.” Padahal hanya ummat Nabi Muhammad saw saja yang dapat bertemu dengan Tuhannya kelak, sebagai akhir dari tujuan penciptaan.
Wallahu’alam bishawab
Mari kita mengerucutkan pertanyaan ini hanya untuk keberadaan diri sendiri. Untuk setiap kita, apa yang telah kita lakukan untuk membangun eksistensi diri ? Apa yang telah kita kerjakan untuk mengabarkan pada orang terdekat bahwa kita ada dan penting bagi mereka ? Apa yang telah kita lakukan untuk kebaikan orang sekeliling ? Bagaimana kita bersikap kepada suami, istri dan anak-anak ? Bentuk perhatian seperti apa yang telah kita persembahkan kepada kedua orangtua ? Sumbangan apa yang dapat kita bagikan kepada tetangga, rekan kerja, atasan, bawahan atau kerabat ? Bagaimana sikap kita terhadap alam dan lingkungan ? Apakah orang-orang merasa nyaman dekat dengan kita?
Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu menggambarkan kita saat ini. Lalu benarkah untuk hal-hal yang demikian itu Tuhan menurunkan kita di dunia ini ?
Ketika setiap diri menjadi lebih baik dari hari ke hari, maka secara otomatis ia akan menjelma menjadi pendorong bagi kebaikan orang lain. Ketika setiap diri memaksimalkan apa yang dia miliki dari titipan Tuhannya berupa bakat, keinginan untuk maju, kebutuhan berbagi, kebahagiaan memberi, kebersamaan merasakan, maka sesungguhnya ia telah mengetahui untuk apa ia diciptakan.
Pribadi mulia Rasulullah saw telah bersabda : “Seorang mukmin tak akan pernah puas dengan kebaikan hingga berakhir dengan surga.” Kebaikan yang dimaksud oleh Rasul telah dengan sabarnya beliau tuntunkan kepada kita. Tinggallah kita yang menentukan bersediakah kita dituntun menuju surga ?
Dalam perjalanannya mencapai tujuan penciptaan, kita dihadapkan dengan banyak sekali ujian dan godaan, untuk menentukan kedudukan, menakar kwalitas kemanusiaan serta menilai derajat kemuliaan kita sebagai manusia.
Untuk itu dibutuhkan keikhlasan untuk meniru dan mengikuti jejak manusia termulia di bumi ini, Rasulullah saw, tanpa kecuali. Jika sedikit saja kita lengah, jangan-jangan kita keliru dengan prasangka kita sendiri, yakni keyakinan akan pengakuan diri bahwa kita adalah ummatnya, sementara beliau tak mengakui kita melalui sabdanya : “…. Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukanlah ummatku.” Padahal hanya ummat Nabi Muhammad saw saja yang dapat bertemu dengan Tuhannya kelak, sebagai akhir dari tujuan penciptaan.
Wallahu’alam bishawab
SORE
BalasHapusBLUE DATANG DI HARI YANG KE DUA PULUH
SEMANGAT YAH
SALAM HANGAT SELALU......ok
Semoga kita yg menjalani puasa dapat memahami untuk apa kita diperintahkan berpuasa. Mantap, bunda.
BalasHapusmenarik sis.Met menjalankan ibadah puasa ya..
BalasHapusMemang tak ada ciptaannya yang sia-sia. Semoga kita pun tidak menyia-nyiakan waktu yg diberikanNYA selama hidup di dunia ya..?
BalasHapusnggak terasa nii sdh k 21 ya, salikur BUU :D
BalasHapusBuuuu, mudah2an kita bisa mnjdi sebaik2nya manusia yg dpt memberikan bnyak manfaat untuk semua orang
sekarang dah 21 neh ya
BalasHapusPostingan yg bagoss sekali... untuk kita renungkan, moga bulan ini sangad penuh barokah amien :D
BalasHapushalo...lam kenal juga. tks dah ke blog aku.
BalasHapussalam sobat
BalasHapusiya ngga terasa nich shaum sdh kee duapuluh ,bentar lagi hari kemenangan.
mohon diterima ya mba AWARD sederhana dari blog NURANURANIKU, trims.
bahan renungan yang bagus buanget ... kadang orang lupa dan bahkan gak pernah berpikir buat apa Tuhan menciptakan kita,,,?? tapi dengan diingatkan seperti ini, insyaallah gak bakal ke bablasan... aminnn..
BalasHapusAssalamu'alaikum wr. wb.
BalasHapusRahmat Surur berkomentar :
UNTUK ;
BERIBADAH
BERBUAT
BERAMAL
BERKARYA
MENUJU RIDHO ILAAHI
Wassalam.
Rahmat Surur