Sabtu, 19 November 2011

Lepas Asar, Alia dan Cahaya


Lepas asar hari itu, Alia tepekur dalam diamnya. Sebuah lintasan kejadian tadi siang menelikungnya.

Ada yang salah, bisiknya cemas.

“Ini dia orangnya. Bacaannya indah, suaranya merdu,” sang guru memuji dengan bahagia, tadi siang.

Sungguh, Alia merasa bangga dan tersanjung. Hatinya mekar, dadanya melayang bersama tatap kagum teman-temannya. Betapa manisnya buah kerja keras yang ia tempuh selama proses belajarnya yang tak kenal putus.
Sampai sore tadi, Alia merasa betapa beruntungnya ia, sebab Allah telah membimbingnya hingga ke tahap ini.
Sungguh, nikmat Allah yang mana lagi yang ia dustakan?

Alia bangga …

Dan dengan penuh rasa syukur ia berkisah pada teman-temannya tentang perjalanannya hingga tiba di tahap pemahamannya itu.

Lepas asar, usai sholat ditegakkan, hati ditundukkan, jiwa direbahkan, dan doa dipanjatkan, Alia tertelikung sendiri.

Ada yang salah...
Shadrnya berdentum, qalbunya gelisah, fuadnya mendakwa. Ada sirr yang membisikinya. Alia perlu mencari kekuatan.

Alia membuka mushaf, lalu terpaku di sini :

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”
( QS Al-Furqon : 43 )

Alia sedih, sangat sedih …

Ia telah dengan sukses diperdaya syahwatnya. Sungguh, betapa syahwat itu sangat kuat, ganas dan gesit, tapi sangat halus, sehingga sulit mengetahui kalau dia sedang menyerang. Siang tadi, Alia diserang dengan telak! Oleh syahwatnya sendiri. Alia telah dengan bangga menerima semuanya, padahal bisa apa dia tanpa Tuhannya? Semua kemampuan yang dimilikinya bukanlah miliknya, pujian itu sejatinya bukan dialamatkan padanya. Alia hanya dimampukan oleh Tuhannya, dititipi sedikit ilmu, lalu mengapa Alia merasa bangga? Padahal semua itu bukanlah miliknya?

Alia malu …
Tadinya ia hanya ingin masuk kategori firman Allah :

“dan terhadap nikmat Tuhanmu,
maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”
( QS Ad-Duha : 11 )

Duhai …
Alangkah tipis batas antara haq dan bathil. Betapa syahwat bangga diri demikian rakus menerkam sisi lemah bilik ruhaninya.

Lepas asar hari itu, Alia menerima pengajaran kembali di jenjang ke sekian hidup fananya.
Alia harus lebih cerdas dan waspada!
Ia tersentak, ada yang berbisik di hatinya : "Dengan ilmu, Alia. Dengan ilmu engkau bisa lebih faham."

Ia ingat satu nasihat :

Tidak ada yang mampu menundukkan dan menjinakkan semuanya, kecuali dengan ilmu.
Bukan, bukan ilmu yang ada di kepalamu, sebab apa guna ilmu yang hanya sekedar hafalan.
Tapi ilmu yang ada di hati, sebab ia sudah menjadi karakter dalam diri.
Allah menyindir orang berilmu yang tidak menjadi manfaat bagi dirinya
seperti keledai yang membawa tumpukan buku di punggungnya.
Ilmu itu seharusnya menjadi karakter, bukan sekedar hafalan.
Memang tahapannya baca, hafal, laksanakan dan rasakan, kemudian menjadi karakter.
Bersabarlah kawan, ilmu dari otak untuk sampai ke hati
Butuh istiqomah.
Perkuat alasanmu, kenapa kau melakukan itu.

( “Belajar Menuju Ihsan” – Bambang Achdiat )


Lepas Asar hari itu, Alia mendapat Cahaya ...