Senin, 28 Oktober 2013

Kasta Berkat

Bila mendengar kata 'kasta', maka otak kita langsung ingat pada film-film India, atau pada masyarakat agama Hindu. Sebab kita biasa mengenal kata kasta sebagai bagian dari masyarakat Hindu. Kasta itu sendiri berasal dari bahasa Portugis yang artinya pembagian masyarakat. Di masyarakat agama Hindu dikenal 4 jenis kasta, yakni kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya, dan kasta Sudra. Istilah kasta kemudian difahami sebagai pembagian kelompok tingkat  sosial yang secara kuat mengakar di masyarakat Hindu Bali, yang kemudian diyakini bahwa sistem ini sengaja dihembuskan oleh Penjajah Belanda kala itu untuk menguatkan status quo para penguasa serta sejalan dengan politik devide et impera.

Meski seiring perjalanannya, banyak penganut Hindu yang tidak setuju dengan adanya pembagian kasta itu, secara sadar ataupun tidak, selalu ada saja sistem perbedaan perlakuan terhadap beberapa orang atau golongan. Bisa jadi hal ini terjadi karena terlalu lamanya penjajahan Belanda, sehingga sebagian masyarakat terlanjur hidup dalam tradisi 'diskriminasi' terselubung macam itu.

Kenapa tiba-tiba bicara kasta?Saya tidak sedang diperlakukan buruk akibat perbedaan kasta. Tidak.
Saya hanya sedang merenung saja, apakah memang kasta itu merambah hingga ke ketiak budaya masyarakat Indonesia, suku manapun? Bahkan hingga ke pembagian makanan.
Lucu sekali ... (atau apa namanya, ya?). Bagiku ini 'aneh'.
Ya, saya tak mengira bahwa tradisi bisa sedemikian absurd. Sulit untuk dihilangkan, karena masyarakatnya masih menganut rasa sungkan bila dia tidak mengikuti kebiasaan itu.

Ini kisahnya ...


Di beberapa tempat di kampung daerah Jawa Barat (tidak di semua tempat, hanya di beberapa tempat saja), sudah lazim, bila ada hajatan, sebelum hari H (baik pernikahan atau khitanan) si empunya hajat akan mengirim makanan berupa nasi dan lauk pauk (istilahnya : nasi berkat) kepada para tetangga.  Berkat itu diberikan sebagai tanda bahwa dia mau menyelenggarakan hajatan. Istilahnya makanan itu pengganti undangan. Tapi, rupanya pembagian berkat ini tidak kepada semua tetangga.  Ada kriterianya. Tetangga yang diberi berkat, biasanya tidak diberi surat undangan. Jadi dia harus datang ke rumah si empunya hajat, sebelum hari H tiba. tentu saja dengan membawa amplop (berisi uang).
Sebagian tetangga lain, tidak mendapat berkat. Artinya ia tinggal menunggu surat undangan. Dan  harus datang memenuhi undangan pada hari H.

Sampai disini, masih bisa dipahami. Meski secara sepintas saja kita tahu ada kasta diantara dua jenis 'undangan' itu. Tapi, masyarakat disana tak merasa keberatan dengan perlakuan yang diskriminatif itu. Semuanya dijalani sebagai kelaziman semata, dan memang begitulah yang harus dijalani, sesuai tradisi sejak nenek moyang. Selesai.

Ada yang membuatku terkaget-kaget. Ketika ibu mertuaku bercerita bahwa berkat itu ada 3 macam. Maksudnya?
Begini. Bila anda menerima berkat dalam sekotak nasi dus, maka anda harus memberi amplop kepada si empunya hajat dengan ketentuan, jumlah uang dalam amplopnya : sekian. Tapi bila hantaran itu diberikan dalam setumpuk rantang (biasanya 5 susun), maka amplopnya harus lebih besar : antara sekian dan sekian. Dan bila hantaran itu dalam sebuah dus mie instan, yang sudah pasti jumlahnya lauknya banyak sekali, maka amplop yang harus diberikan kepada si empunya hajat tentu saja harus lebih besar lagi : sekian!
Amplop itu diberikan sebelum hari H, bila anda tidak ingin malu. 

Masya Allah ...

Lepas dari kelaziman  yang sudah demikian mengurat mengakar di sebuah tatanan masyarakat desa, saya takjub dengan kekukuhan mereka dalam menjaga adat. Adat yang, menurutku, benar-benar mengkotak-kotakkan manusia dalam kardus yang tak sepatutnya diadakan. Ketika aku sampaikan pendapatku, mereka (ibu mertua dan adik ipar) hanya tersenyum pasrah, yaa memang begini keadaannya.

Hajatan sejatinya adalah ungkapan kesyukuran. Dan itu harusnya tak dinodai dengan sistem seperti jual beli. 

Mungkin memang benar, ada warisan penjajah yang hingga saat ini masih melilit kuat di benak dan keseharian masyarakat Indonesia, terutama di pelosok. Ini hanya di satu tempat, satu suku, dari sekian banyak tempat dan suku di Indonesia. Ada banyak tradisi lagi  di belahan bumi Indonesia lainnya.

Ada yang membanggakan, melegakan, tak sedikit pula yang membuat kita menghela nafas berat.
Seperti kasta dalam berkat ini.

Selasa, 22 Oktober 2013

SEDERHANA ITU ...




Sederhana itu ...
ketika bumi menerima apapun dari langit, tanpa kata-kata, hanya diam
lalu lahir serumpun ilalang

Sederhana itu ...
ketika engkau membelaiku dengan matamu, menyelam di telagamu
lalu waktu terdiam kehabisan aksara

Sederhana itu ...
ketika anak-anak tahu, cinta kita tak pernah terbuang sia-sia
untuk tumbuh dan menumbuhkan banyak putik

Sederhana itu ...
ketika kembang berbunga mekar diantara matahari dan kupu-kupu

selain itu
hanyalah kemewahan yang tak perlu


        gambar dari : andifs.blog

Rabu, 09 Oktober 2013

Mengalir Lagi ...

Memelototi monitor bersama pensil dan secarik kertas.
Sejatinya aku kembali sekolah. Tentang pelajaran yang tak pernah kumiliki teorinya. Dulu aku hanyalah praktisi tanpa bekal, lalu melakukan apapun hanya dengan kompas hati. Aku suka, berproses, dan jatuh cinta.
Bagiku itu cukup.
Pekerjaan yang dilakukan penuh rasa cinta dan dedikasi tanpa tendensi apapun selain 'mengalir' lalu menghasilkan produk yang disukai banyak orang, itu cukup. Bukankah dalam hidup yang dicari itu bukan keberlebihan, melainkan kecukupan?

Bersama idealisme khas anak muda aku mengalir.
Menuliskan naskah (versiku - yang penting semua rekan paham), memilih peran, membaca naskah, masuk bilik rekaman, rekaman suara. Selesai.
Masuk proses editing. Bersama Kang Hilman, seniorku, dengan panduan naskah yang kubuat tadi, aku memilih sound effect, memasukkan musik dan menjelmalah sebuah sandiwara radio berdurasi 30 menit. Sejumlah 15 episode kuselesaikan.
Semuanya otodidak.

Sekarang, disinilah aku. Menjelang tengah malam bersama dua lembar kertas dan sebatang pensil, memelototi layar komputer. Apa yang kucari?
Setelah kegiatan 'mengaliri waktu' itu kutinggalkan 13 tahun lalu, aku dipaksa oleh diriku untuk membuka file tentang teori pembuatan film dokumenter.

Untuk apa?
Mungkin untuk sekedar memenuhi bilik jantungku sebelah sisi yang mana, yang dirasa mulai kembali menagih untuk diisi. Selalu ada sesuatu yang aneh setiap kali melihat tayangan Eagle Award di Metro TV. Atau ketika membaca kiprah teman lama yang berkecimpung di dunia produksi. Sesuatu yang bergerak didalam untuk ditunaikan. Ada sisi lain dari dalam yang menarikku untuk mengikuti 'aliran'. Mengalirlah ...

Sekarang aku mencoba mengalir lagi. Meski sangat berbeda antara pengalaman masa laluku dengan tuntuntan dari dalam diriku sekarang. Media radio dan film, sangat jauh bedanya. Tapi, disitulah kegairahan itu muncul. Gairah untuk mencari lekukan, kemudian mengalir.
Dengan rasa yang masih tetap berkecukupan.
Dengan ruh yang sama, (mungkin juga agak berbeda) . Kali ini aku ingin lebih dewasa.
Sebab ada sebuah pesan penting yang ingin kusampaikan ...
Pada mereka