Minggu, 14 Juni 2009

Anggur Kenangan

gambar diunggah dari keluargaerkens.blogspot.com

Batang pohon anggur itu merambat di antara bilah bambu, daunnya merayap rapi membentuk semacam atap yang akan dilewati sesiapa yang berkunjung ke rumah masa kecilku di kota Bandung sana. Rerimbun dedaunan anggur itu menjadi semacam gapura yang berucap selamat datang bagi semua kerabat dan teman keluarga besar kami.

Itulah slide yang hadir, sengaja kuundang dalam memoriku, saat seorang sobat lama menanyakan keberadaan pohon anggur itu, setelah hampir tiga puluh tahun berpisah ! dan rumah masa kecil itu telah lama kami tinggalkan.
Semuanya bermula di sebuah siang, saat tengah meluncur di jalanan bersama suami, sebuah getar dan suara ringan menyapa akrab. Telepon genggamku mengabarkan ada pesan yang masuk. Kubuka. Subhanallah .... dari sahabat lamaku! Rita namanya, lengkapnya Ratna Januarita.
Isinya permohonan maaf karena sms pemberitahuan reuni dariku baru bisa ia jawab, karena sahabatku itu baru tiba dari rapat kerja di Malaysia, Singapore dan Bangkok. Bukan itu yang membuatku bahagia, berbunga dan berwarna, melainkan obrolan panjang setelahnya yang berlanjut hingga aku tiba dan singgah di beberapa tempat. Hari Minggu itu jadi terasa berbeda. Ah, teknologi membuat segala yang jauh jadi dekat. Teknologi menjadikan aktivitas tak terhenti hanya karena dua orang manusia tengah berkangen-kangenan. I luv you techno .... mmhuah!

Berbilang kata melesat di jalur lalu lintas gelombang elektromagnet yang berpilin, berputar di antara berjuta data yang melayang menuju sasarannya (yang hebatnya tak tertukar) di seluruh pelosok bumi, antara saya dan dia. Hingga tiba di kalimat yang entah masuk urutan ke berapa, begini katanya :
"Saya sering cerita ke anak-anak tentang cita-cita kecil saya yang sampe sekarang belum terwujud. Saya cerita jauh sebelum kita ketemu lagi, Ni. Tahu gak ? cita-cita saya itu adalah punya pohon anggur seperti di rumah Ani dulu di Pamoyanan. Kalau kelak kita ketemu lagi, anak-anak pasti tahunya Ani yang punya pohon anggur."

Entah kenapa, kalimat sederhana itu membuat hatiku gerimis dan melemparkan ingatan ke masa kecil yang indah di rumah kakek di Bandung. Masa-masa SD yang manis bersama teman-teman yang kompak dan rame. Sungguh kenangan yang tak bisa terlupakan. Dan tahukah anda ? Beberapa hari sebelumnya, Titon, teman saya yang lain, menanyakan anggur yang sama! Jadi, ini kali kedua teman lama terkenang pada sebatang pohon anggur.

Dulu, selain belajar di sekolah, kami terbiasa belajar kelompok, bergantian tempat. Hari ini di rumah Rita, esok di rumah Titon, lain waktu di rumah Yennita, atau di rumah Dian, rumah Jejen, di rumah Ana, bertandang ke rumah Aang, kemudian di rumahku. Seingatku, rumahku agak sering menjadi tempat berkumpul. Untuk belajar kelompok, untuk bermain atau bahkan untuk latihan drama perpisahan kelas. Pokoknya kami sangat kompak. Di sela-sela belajar, kami dapat memandang rerimbun dedaunan anggur itu. Bila sedang berbuah, gelayut anggur-anggur itu sungguh menggoda liur kanak-kanak kami. Ah ... kenangan itu!

Sekarang baru terpikir, sebenarnya pohon anggur yang tumbuh di rumahku itu termasuk jenis anggur yang asem. Mungkin karena kala itu anggur jarang ditanam dan sangat jarang ditemui di pasar, maka ia menjadi sesuatu yang istimewa. Atau mungkin ada sensasi lain selain rasa asem yang kami rasakan saat berebut memetiknya dan kemudian mengulumnya dalam mulut kami sambil tertawa-tawa kegirangan. Duh ...

Lain dengan sekarang, banyak pilihan jenis anggur dapat dibeli di super market. Hingga anggur tak lagi menjadi buah istimewa. Benarkah ? Ah, kini bagiku anggur tetaplah istimewa kapan dan dimanapun. Terlebih bila dalam setiap anggur yang kukulum terselip beribu kenangan indah bersama sekumpulan sahabat ...

Rita, Titon dan sahabat-sahabat masa kecilku ... ini kutulis untuk kalian semua!

Minggu, 07 Juni 2009

Menanam di Hati Anak


“Sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu adalah cobaan belaka. Padahal di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Q.S. At-Taghaabun : 15)


Dalam Tafsir Rahmat, H. Oemar Bakri mengamanatkan setiap orang untuk berhati-hati menjaga amanat Allah ini. Jika dijaga dengan baik ia akan mendatangkan kebahagiaan. Manakala disia-siakan ia akan menimbulkan kecelakaan.
Karena itulah orangtua harus menomorsatukan pengasuhan dan pendidikan anak.


Berusaha untuk tidak jemu memberi “bekal” bagi kekayaan batinnya, seorang ibu harus senantiasa belajar. Ia haruslah menjadikan dirinya sebagai pembelajar sejati. Tak henti menimba ilmu dari manapun sumbernya. Iapun harus bisa mendidik dengan kasih dan keriangan serta kelembutan. Howard Gardner yang menulis tentang proses pembelajaran yang selalu dipenuhi oleh kegembiraan, ketakjuban dan cinta, menularkan semangatnya kepada para pendidik (juga para ibu) untuk pula menghadirkan kegembiraan, ketakjuban, kebahagiaan dan cinta dalam setiap “mata pelajaran” yang ibu tularkan pada anak-anak.
Seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh seorang anak akan dapat melejit-hebat apabila suasana belajar dalam keadaan riang, materi ajarnya dapat memesonakan anak, dan guru yang mengajarkan benar-benar ikhlas mengalirkan ilmunya. Maka setiap ibu wajib menjadi guru yang ikhlas. Bukankah sejatinya, ibu adalah guru yang pertama dan utama bagi anak-anaknya ?


Apa jadinya bila benih kebaikan yang coba kita tanam ternyata harus layu dan rontok sebelum sempat bertunas hanya karena salah dalam menanamnya ? Karena salah dalam menyampaikan pesan pada anak? Misalnya karena caranya dengan paksaan dan bentakan. Bukankah pengalaman telah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang hadir di bawah tekanan hanya akan melahirkan nestapa dan keterpaksaan.


Saya ingin mengutip apa yang telah diajarkan Neno Warisman dalam bukunya “Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi”. Alangkah bodoh kita – para orangtua zaman ini – yang masih sering menggunakan cara-cara yang keras, kasar, nyinyir, apalagi memakai kekuatan dan kekerasan tangan untuk menanam iman dan tauhid mereka. Anak manapun saja di muka bumi, seandainya mereka diberi peluang untuk tumbuh dengan patut dan mulia, diberi ruang untuk mengembarakan pikiran-pikirannya hingga mampu menganalisis dan menemukan jawaban-jawaban atas keingintahuan mereka sejak dini…. Dan kita sebagai orangtua mau bersabar menemani …., saya yakin, mereka akan menjadi orang-orang besar dunia !
Siapakah orang-orang besar dunia ? Ialah mereka yang mampu menaklukkan dunia dengan segala kepongahannya serta mengejar akhirat dengan segala kebaikannya.


Setelah benih tauhid ditabur dan disemai di hati anak, maka mulailah kita memupuknya dengan ajaran akhlakul karimah. Mengenalkannya tidak saja kepada sesama manusia, melainkan pula pada hewan yang demikian banyak jenisnya serta tetumbuhan yang kaya warna.
Jangan berhenti “menanam” bahkan saat mereka tengah bertengkar dengan saudaranya sekalipun. Mengenalkan kepada mereka tentang arti demokrasi dan setia kawan, kejujuran dengan segala konsekuensinya, bersikap adil meski harus ada yang kecewa, serta tetaplah istiqomah. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengenal sejak dini bahwa dalam hidup ada sesuatu yang tidak harus sesuai dengan keinginannya. Banyak yang harus dikompromikan. Tidak perlu dengan berbuih mulut, cukuplah dengan selalu ada dan bersedia hadir dalam setiap kesempatan emas.

Untuk mengetahui apakah sebuah peristiwa merupakan kesempatan emas ( untuk menanam) ataukah bukan memang memerlukan kepekaan tersendiri. Dan saya yakin semua ibu pasti memiliki kepekaan itu, asalkan mau mengenali anak-anaknya. Sebab pengasuhan anak adalah soal hati, tidak berkaitan langsung dengan tinggi rendahnya pendidikan sang ibu.

Anak-anak perlu belajar bagaimana berbesar hati lewat banyaknya intensitas pergaulan dengan sesamanya. Seringkali kita tergoda untuk cepat-cepat nimbrung pada persoalan anak-anak, tanpa memberi mereka kesempatan untuk menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. Padahal campur tangan yang terlalu dini akan mematikan kemampuan terpendamnya. Hingga tanaman yang hendak bertunas mesti mati tanpa sempat berkembang.


Para ibu sejati, mari kita berlomba menanam benih kebaikan di hati anak-anak kita, agar genaplah peran kita dalam mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa ini. Hingga sejahteralah rakyat kita karena kelak para pemimpin itu lahir dari rumah-rumah kita yang selalu menghadirkan kebahagiaan dan cinta.

Dengan semangat “fastabiqul khairat” semoga Allah swt meridloi dan memudahkan jalan dalam mengawal pertumbuhan anak-anak kita….- yang Ia firmankan sebagai “cobaan belaka” itu - …, sehingga tak sampai menggelincirkan kita dalam api nereka. Naudzubillah …