Senin, 30 November 2009

Sebuah Nilai Usai "Ngariung"


Selalu rindu kala jauh, selalu bahagia kala bersua. Siapa yang berhak menerima rasa seindah itu? Jawabannya adalah : KELUARGA!!! Setidaknya itulah bagi saya.

Sabtu dan Minggu kemarin, tepat sehari usai Idul Adha, masih di hari Tasyriq, saya berkesempatan ngariung kembali beserta keluarga besar. Kami memiliki waktu pertemuan dua bulan sekali, istilahnya sih arisan keluarga, meski nilai nominal arisan bukan yang utama. Silaturahmi, sesuai sunnah Rasul, untuk memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan jauh lebih penting ketimbang segepok rupiah, kan? Meski demikian, pengocokan uang arisan seringkali menambah meriah suasana. Ada harap ada cemas hehe ... persis orang nunggu kelahiran buah hati.

Nah, kemarin itu, giliran saya yang jadi tuan rumah. Mamah, Bapa, Teteh sekeluarga, dua keluarga adik-adik saya (semuanya dari Bandung), plus keluarga saya selaku tuan rumah, minus keluarga adik yang di Yogya, cukup membuat riuh udara sejuk dan ramah di Samarang.

Kok Samarang? Samarang ya pake 'a', bukan Semarang pake 'e'. Jauh soalnya. Kalau Samarang adalah sebuah kecamatan di kota Garut. Semarang, ibukota Propinsi Jawa Tengah.
Iya, berhubung mereka ingin sekalian out bond plus mancing, kami menggunakan rumah mertua di kampung sebagai posko. Maka usai berenang dan berendam air panas di Cipanas Minggu pagi, rombongan langsung meluncur ke suasana desa yang bening. Alhamdulillah, dua keluarga besar (keluarga saya dan keluarga suami)bertemu, disatukan Allah lewat silaturahim indah bernama arisan keluarga.



Usai bermain kami ngariung.
Maka tak ada yang bisa membantah betapa indahnya ajaran Rasulullah bernama SILATURAHIM. Di dalamnya ada cinta, ada tawa, ada haru, ada tausiyah, ada perenungan dan doa. Sebagaimana biasa, usai pengocokan arisan, kami mendengarkan petuah Bapa dan tausiyah yang disampaikan oleh salah seorang dari kami sendiri. Namanya tausiyah, namun disampaikan dalam suasana santai layaknya obrolan. Sersan : serius tapi santai. Kami membiasakan anak-anak untuk dapat menghargai sebuah nilai. Itulah intinya.

Usai pertemuan, ada oleh-oleh yang bisa dibawa pulang, bukan hanya untuk kami yang tua-tua melainkan pula untuk anak-anak kami : jiwa baru yang usai dicharge serta nilai baru dari sebuah keluarga. Bukankah setiap moment memiliki nilainya masing-masing yang unik dan tak tergantikan? Itulah maknanya.

Kami semua menemukan mutiara bening di penghujung November ini.
Alhamdulillah ...

Rabu, 25 November 2009

Terimakasih, Sahabat ...

Bisa jadi ucapan terima kasih tak cukup mewakili sebuah ungkapan syukur terhadap seseorang. Bisa jadi pula kata itu sudah lebih dari cukup. Semua kembali pada konteks kisah yang melatarbelakangi lahirnya ucapan itu atau tergantung dari kesahajaan mereka yang terlibat didalam persinggungan sosial tersebut. Tak soal apa yang diberikan, jasa atau sesuatu yang terbenda, pemberian selalu menyisakan syukur.
Maka di dunia manapun sesuatu itu hadir, maya ataupun nyata, sama saja.

Entah darimana awalnya, sebuah bentuk jalinan pertemanan ala blogger lahir melalui pembagian award. Award itu terus lahir, tumbuh dan berkembang kemudian mendatangi sesiapa yang terpilih melalui hati.
Saat kita sendiri, uluran tangan seseorang yang mengajak bersalaman sungguh sebuah anugerah menyenangkan, bukan? Itu pula yang ingin saya sampaikan kepada para sobat blogger yang dengan tulus hati mengirimkan bingkisan award ke blog ini. Meski saat menerima kiriman ini saya tak sedang kesepian, bentuk perhatian tetap memberikan kebahagiaan. ( ya iyalah ... siapa sih yang gak senenag dikasi kado!!)

Award ini dari Fanda, yang berulang tahun (bersedia kan membuka pintu maaf karena keterlambatan posting award ini?)Semoga blog-mu makin bernas dan terus mengucurkan air kehidupan buat tanah yang kekeringan.

Yang dua ini dari Ateh Cinta Hakiki


Terima kasih saya untuk mereka berdua. Teriring doa (sebagai pelengkap rasa) semoga Fanda dan Ateh selalu dapat menebar manfaat lewat tulisan-tulisannya dan mendapat rahmatNya. Amiiin.

Ucapan terima kasih juga buat Pak Munir dan mbak Fanny yang telah mengirimkan award buat Ateh, saya kan jadi kebagian nih ...
Sebagai tanda syukur dan persahabatan pula saya kirimkan award ini buat :
mbak Ira Rachma
mbak Elly Suryani (sayatahu mbak sudah dapat award lain dari Fanda, tapi mau kan nerima award dari saya ini?)
mbak Zahra Lathifa dan
mbak Ernut

Semoga persahabatan ini dapat menebar manfaat. Amiiin

Jumat, 20 November 2009

OUT BOND

Beberapa puluh tahun lalu, tak pernah saya dengar istilah Out Bond, yakni metoda pendidikan afektif psikomotor yang melatih anak berinteraksi langsung dengan alam dan rintang. Tak kenal istilahnya bukan berarti pendidikan semacam itu tak pernah ada zaman dulu. Out Bond masa lalu tak dibuat permanent, sebab tanpa diciptakanpun, keseharian anak-anak telah ditempa oleh alam yang secara tak langsung melatih kepekaan rasa, kesetiakawanan, keberanian dan ketepatan memilih. Bukan hanya di sekolah, tapi (dan justru inilah point terbesar dari kesehariannya) adalah di lingkungan bermain.

Bermain tanah, menginjak lumpur, menyeberang sungai, meniti pematang sawah, melompat pagar, mengejar ayam, menangkap bola, menangkap ikan, bahkan mengejar layangan putus dan naik ke pucuk pohon nangka yang menjulang, biasa dilakukan tanpa batasan waktu dan cuaca. Panas atau hujan, mereka bisa main sepuasnya. Tak ada larangan, tak ada batasan. Mereka hanya perlu pulang untuk makan, sholat, dan bila saat maghrib tiba, bergegas meluncur ke masjid, berbagi kisah para Rasul dan mengaji bersama Pak Ustadz. Itulah Out Bond masa lalu.

Sekarang, banyak orangtua membatasi jatah main anak di luar. Bukan tanpa sebab, ya. Sekarang, udara tak sebersih dulu. Air hujan bisa tiba-tiba bercampur polutan yang membuat anak-anak jatuh sakit, maka tak pernah dibiarkan anak-anak main hujan-hujanan sebebas dulu Terik matahari pun menjadi alasan pelarangan saat anak-anak mohon izin bermain sepeda, terlebih bila di jalan raya. Wah, pasang lampu merah besar-besar deh!

Tak semua orangtua begitu sih, sebenarnya. Mereka yang beruntung tinggal di pinggiran kota, yang masih memiliki ruang hijau dan terbuka untuk anak-anak berekplorasi, tentu tak usah khawatir membiarkan mereka puas berekspedisi.

Menyikapi fenomena ini, para pakar pendidikan dan mereka yang concern pada pendidikan serta perkembangan anak, merasa perlu untuk memberi ruang bagi tumbuh kembang anak-anak secara positif dan terarah, agar masa bermain mereka tak terampas. Masa bermain adalah masa emas anak-anak dalam memperoleh stimulasi berharga bagi masa depannya. Apa jadinya mereka kelak bila masa itu hilang. Maka bermunculanlah taman bermain, Kids Camp, Out Bond, bahkan sekolah-sekolah alam, lahir bagai jamur di musim hujan. Sayang, semua itu (karena sifatnya memang “dibuat” dan “diciptakan” secara khusus) maka memerlukan biaya.

Tentu saja, biaya hanyalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah jasa. Sepanjang itu memberi feedback yang baik bagi anak, kenapa tidak?

Maka ketika anak bungsu saya dengan ceria memberitakan rencana Out Bond sekolahnya, sayapun menyambutya dengan sama antusiasnya. Gak lucu kan kalo anaknya sumringah dan rame, ibunya malah adem-adem aja. Gak klop itu namanya!


Star jam 7 pagi dari sekolah kami meluncur ke Natural Hill Lembang, sebuah kawasan perbukitan di utara Bandung. Sepanjang perjalanan, kami para orangt

ua murid senyum-senyum aja denger anak-anak dan para guru mereka bernyanyi-nyanyi dalam bis, malah mulut dan hati sayapun ikut-ikut bersenandung. Serasa balik lagi ke masa kecil dulu. Perjalanan jadi tak terasa lama. Apalagi mata kami dihibur oleh pemandangan indah.

Tiba di Natural Hill, kami disambut sekumpulan anak muda yang akan menjadi pemandu serta pendamping anak-anak mengekplorasi alam, terbang di flying fox, meniti seutas tambang dan lain sebagainya. Disana, kami para orangtua, dilarang keras ngikutin anak-anak, maka sayapun hanya bisa mengabadikan aksi mereka di arena main yang dekat dengan kamp-nya ibu-ibu saja.

Ibu-ibu malah diberi tantangan lain, yakni jjs ke air terjun. Pemandangannya sih indaaah banget, tapi jalanannya menurun, berkelok, kecil dan lumayan curam. Namanya juga ibu-ibu, teriak sana teriak sini, sukacita dan mengasyikkan.

Jalanan berkelok itu yang akan kami lalui.


Air terjun tujuan kami


Jalanan menanjak yang harus kami tempuh usai “ekspedisi” air terjun.


Tiba kembali di kamp kami kecapean, tapi langsung hilang saat melihat anak-anak telah tiba di arena main yang dekat kamp ibu-ibu, jadi bisa moto-moto deh. Senang sekaligus bangga melihat Cici berani dan bergembira.

Cici datang digandeng Kak Titi sang pendamping. Suasana perbukitan yang indah, bukan ?


Lihat! Meski terjatuh dari atas rakit, Cici tidak menangis dan patah semangat, ia tetap ceria dan terus berusaha naik kembali ke kendaraan yang akan membawanya tiba di tujuan bersama teman seperjalanan (cieee ... lebay) Tapi memang itulah ibaratnya hidup, kan.


Dan dengan semangat kembali mengayuh tali bersama-sama. Kompak!!! "Ayo maju terussss. Jangan menyerah." Saya berteriak-teriak dari pinggir sungai ...eh, kolam, ding! (ceritanya kan itu teh sungai deras!!)


Horeee!!! Berhasil! Berhasil! Horeee!!! Saya ikut melonjak-lonjak gembira melihat mereka berhasil tiba di tujuan. Seberang sungai…..

Setelah berbasah-basah, usailah acara bermain. Lanjut ke mandi, ganti baju dan makan.Kami diberi oleh-oleh sayuran hasil tanam anak-anak disana. Mau strawberry? Tinggal beli hehe … buah yang satu ini tidak termasuk oleh-oleh gratis!

Maka kami pulang dengan membawa kesan yang menyenangkan. Ketika saya tanya : Cape gak, Ci? Jawabannya spontan : Senaaang, mau Out Bond lagiiii ….. (ga nyambung tuh pertanyaan dan jawaban) hehe ...Lalu : "Iya, cape siih, tapi senang!!"

Kita out bond ke rumah nenek aja di "lembur". Disana kan banyak sawah, sungai, kolam ikan, bebek, pohon kelapa, kandang ayam, memang sih gak ada flying fox-nya. Kita main lagi sepuasnya!!! Ajak teman dan saudara. Gratissss !!

Senin, 16 November 2009

" Saat Hidup Demikian Indah Di Pelukku"

Perjalanan ini mengajakku bersahabat dengan rerumputan hijau, wewangian bunga. Entah kenapa, kumerasa selalu ada yang kurang. Aliran ini tak menderas. Bumi demikian baik padaku. Ia tak mempertemukanku dengan curamnya tebing nestapa dan dalamnya jurang kepedihan. Terkadang ada terselip tanya dalam jiwa : siapa yang lebih Tuhan cinta : mereka yang dianugerahi perintang hidup atau dia yang dibekali setangkup kemudahan?

Aku mulai menajamkan telinga, mengasah kepekaan rasa dan memusatkan mata, pada perjalanan mulia para Rasul, sekedar menguatkan hati betapa Bumi baik padaku, betapa Tuhan demikian mengasihiku. Bukan seperti yang aku khawatirkan.

Kekhawatiran ada saat jiwaku terkesima pada kalimat yang mengatakan bahwa "... demikian cintanya Tuhan pada seseorang yang memohon ampunan dan pinta, hingga tak segera Ia kabulkan karena Tuhan demikian rindu mendengar lagi suaranya yang menghiba." Lalu bila demikian banyak kemudahan yang Ia berikan pada hidupku, demikian melimpah pintaku yang berjawab, benarkah karena Ia tak mau lagi mendengar suaraku yang meminta? Benarkah semua itu diberi agar segala kebaikan telah Ia berikan di dunia, hingga aku tak pantas lagi memintanya kelak di kehidupan kekal?

Naudzubillahi min dzalik ...

Lintasan liar dan bernada miring itu menghunjam jantungku, menebas habis kekuatanku, menggerogoti keyakinanku.

Duuuh... Allahku, jangan pernah Engkau memalingkan wajah karena tak sudi menerima keluhku. Bila lakuku sungguh keterlaluan, sudilah Engkau meluruskanku dengan cara yang kumengerti. Demikian bodohnya aku memaknai tanda-tandaMu, hingga hanya isyarat yang kumengerti yang aku pinta dariMu.
Jangan pernah diamkan aku.
Sebab, bila itu terjadi, kepada siapa lagi aku harus memohon?
Hanya CintaMu yang aku rindu

Bukan aku meminta jalanan sulit di bumi-Mu, yang kumau hanya Kau kuatkan kembali hati ini
bahwa kemudahan dan limpahan karunia yang Kau beri, bukan karena Engkau tengah merajuk
melainkan Engkau demikian mengasihiku.

Aaaah ... betapa ringkih aku dihadapanMu
sedang CintaMu demikian agung
mengapa aku masih juga mengais-ngais kekuatanku sendiri?
sekedar memastikan Engkau tak sedang memalingkan wajah

Lalu dengan percaya diri, kulanjutkan kembali kesyukuranku padaMu
Hanya kepada-Mu

(mungkin ini hanya celoteh pagi yang hadir saat hati tengah menukik ke titik nadir)

Sabtu, 14 November 2009

Menutup Malam Bersamanya, Sepanjang Hayat


Rangkaian detik telah mengantarkan saya pada jutaan peristiwa tak terhentikan sejak ibu mengedan dan mengenalkan pada kehidupan. Ada yang tak saya mau tapi harus saya alami, ada yang saya cita-citakan namun tak jua tiba di ujung, ada yang hadir tiba-tiba tanpa direncanakan tapi saya nikmati, dan banyak lagi peristiwa yang hadir di rangkaian waktu dan ruang hidup, aneka macam gaya dan rasa.

Rangkaian detik itu mengkristal di setiap ujung malam. Setiap hari berubah sesuai bentuk yang tercetak sepanjang shubuh hingga menjelang kantuk mendera. Laksana gulungan awan menghimpun jutaan embun yang siap diluncurkan, ia menari di benak, demikian asyik. Dulu saya tak punya nama pada gumpalan itu, dulu saya hanya tahu bayangan itu hadir dengan setia, tak peduli jam berapapun saya naik ke alam tidur. Tapi saya tak pernah terganggu.

Saat ruang dan waktu tak lagi sama, saya mulai mengenali gumpalan itu, saya mulai mencumbui bayangan itu. Ia telah memiliki nama. Evaluasi.

Bersamanya, rangkaian waktu menjelma slide berlarian bagai kuda jantan, menarik segala rasa dan logika, lantas menjelma sebuah kearifan baru. Atau sesekali saya terseret hingga ke lorong, hingga malam tak lagi mengirimkan nilai baru. Tapi saya tahu, malam-malam selanjutnya ia akan tetap hadir sebagai penyeimbang keegoisan saya di siang hari. Sebab ia telah ada sejak saya mulai mengenal arti sebuah nilai. Dan saya tahu, sepanjang hayat, saya akan menutup malam bersamanya.

Kamis, 12 November 2009

Selembar Mata Uang Yang Kian Langka




Berpuluh tahun lalu, saat masih memakai kaus lengan pendek, rambut dihias jepit dan berlarian bebas mengejar angin dan kupu-kupu, bila di tengah jalan menemukan sekeping koin rupiah, maka satu RT kami ubek sekedar menemukan si pemilik sejati. Bilapun tak ketemu, koin itu berakhir di "kencleng" masjid.

Masih berpuluh tahun lalu, ketika seorang bendahara mendapati kelebihan uang, sedangkan buku tak mengabarkan penyetornya, maka semalaman ia sibuk mengkalkulasi hingga klop semua ketimpangan neraca.

Atau, dalam keadaan dan peristiwa yang berbeda, dulu, saat tengah berhimpun mendengar petuah ustadz, saat seutas suara tak diundang karena bergenre "aib" hadir memecah keheningan lengkap dengan "bau"nya, maka si sumber suara tak kuasa berkelit. Raut muka dan gestur tubuhnya tak kuasa berbohong.

Ketiga peristiwa itu hanyalah gambaran sederhana, betapa kejujuran laksana tiara yang diletakkan pada posisi luhur. Ia, dalam keadaan apapun, harus ditempatkan pada posisi terhormat, terdepan, nomor satu, sebab ia identik dengan harga diri. Jika seseorang tak mampu berperilaku jujur, maka muka menghitam tercoreng aib sendiri.

Itu dulu.

Ketika beranjak besar, saya mulai bertemu gradasi warna pada lembaran mata uang bernama kejujuran, yang tak lagi sama dengan yang saya genggam sedari dulu. Mungkinkah ia mulai berevolusi? Saya mulai dihadapkan pada beberapa kejadian yang membuat saya terpana. Kok, ada ya, orang yang berkata hijau padahal merah, atau bilang kuning padahal biru, dengan wajah tanpa dosa? Padahal ada beberapa orang yang tahu kebenarannya. Masihkah mata uang itu berlaku?

Lalu sekarang, silang sengketa terpampang jelas di layar televisi, di surat kabar, di majalah, di internet, dimana-mana. Saya mulai kehilangan arah. Mata uang itu mulai berkeping, berserakan tercerai berai. Dimana harus kupungut kembali agar ia kembali utuh sebagai sebuah nilai?

Kata mutiara yang sangat digemari oleh remaja masa lalu ketika menulis identitas di buku kenangan, salah satunya berbunyi "Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana". Ia begitu bermakna, sebab memberi kemuliaan bagi sebuah nilai, hingga dimanapun dan kapanpun, mata uang itu akan diakui. Dan dulu, mata uang itu tersediaa dalam jumlah yang melimpah.

Sekarang?
Aaah, saya masih berharap, kita masih dapat mewariskan lembaran atau kepingan mata uang bernama kejujuran itu kepada anak-anak masa depan, agar bangsa ini tak lagi mempertontonkanan sandiwara memalukan, dengan wajah "tak jengah" sedikitpun.

Selasa, 10 November 2009

Melukis Ingin

Berhari-hari tidak posting, ada kangen merangsek.
Berhari-hari tidak menengok blog, ada rindu menerjang.
Berhari-hari tidak menulis, ada yang terbelah di dalam.
Terasa meski tak terdeskripsikan

Ingin
ingin
menghentak bergenderang
terhijab keterbatasan

maka saat luang terkirim lewat merpati
kutimang dan kuayun
sesederhana ini
menghapus dahaga rindu
merangkai simpul bersamamu

Sahabat blogger tersayang ...