Sabtu, 30 Januari 2010
Rumah kita itu ...
Rumah kita itu, adalah cerita dan tawa anak
bersama dedaunan dan rinai hujan
bersama musik dan buku dunia
lalu kecipak air mengiris rerumputan
Rumah kita itu, berdiri di tanah kesahajaan
berpagar indah kesetiaan
beratap lengkung kebersamaan
lalu kecipak air mengiris rerumputan
Rumah kita itu, melayang di atas air kejernihan
di rimbun pepohonan buah
yang ranum kala musim petik
lalu kita menggelar tilam di hamparan kedamaian
Rumah kita itu
Megah berdiri di jantung hati
dan setiap helaan nafas
aku
engkau
dan
anak cucu kita …
gambar : http://pfzema.cs.infn.it/pfzema/photos/CERN-03summer/JardinAlpin/html/Country-house_-_2.html
Selasa, 26 Januari 2010
Waktu Hujan Sore-sore
Aku?
Sore ini aku malah terdiam. Menyaksikan jalanan basah selalu menimbulkan sensasi gerimis dalam hati. Aaah, aku tak mau jadi sensitif. Lalu kubuka halaman ini, teringat ada tag book yang dikirim mbak Elly, teringat beberapa award yang belum sempat kupajang. Ingatan itu menjalarkan kehangatan di aliran darah, menyapu sedikit demi sedikit gerimis di hati yang sempat hadir.
Saat kubuka, ada pesan baru dari mbak Irma. Eh, ternyata si cantik sendu ini juga mengirim tag book buatku. Maka inilah sekarang aku, tengah menghangatkan diri di lingkar persahabatan bernama award dan tag book (ide tag film dari Fanda, boleh juga tuh hehe ...)
Ini dia 15 judul buku yang saya suka :
1. Berguru kepada Allah, karya Abu Sangkan.
2. La Tahzan, karya 'Aidh al-Qarni
3. Tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata
4. Quantum Ikhlas, Erbe Sentanu. Beruntung saya telah dan terus membacanya
5. Matahari Odie Bersinar karena Maghfi, Neno Warisman
6. Rectoverso, Dewi "Dee" Lestari. Saya suka ide dan gaya menulisnya, satu dalam dua karya. Hebat !
7. Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman el-Shirazy
8. Ayat-ayat Cinta, Habiburrahman el-Shirazy
9. Buku2 karya Enyd Bliton, buku yang mengawal pertumbuhanku (cieee ..)
10. Cergam Tintin, Lucky Luke, Serial Si Janggut Merah, Tanguy and Laverdure, Johan and Pirlouit (serasa kembali ke masa kecil hihi ....)
11. Rintihan Suci Ahli Bayt Nabi, Jalalludin Rachmat. Ini buku lama yang masih sering saya baca
12. Life Excellent, Reza M. Syarif
13. Di Perjamuan CintaMu di Arafah, Ratna Januarita. Buku yang memotivasi saya untuk menggenapkan niat.
14. Winnetou, Karl May.
15. Sayap-sayap Patah, Kahlil Gibran
Sedangkan buku yang membuatku menangis, mbak Irma, adalah bukunya Tere Liye "Bidadari-bidadari Surga". Buku ini berkisah tentang kasih sayang dan pengorbanan tanpa syarat seorang kakak kepada keempat adiknya. Setiap kali membaca, saya selalu saja menangis.
Terima kasih mbak Elly, terima kasih mbak Irma, sudah mentag saya. Benar, akhir-akhir ini saya jarang membaca. Bahkan tiga buku baru saya masih belum sempat dibaca! Saya jadi membenarkan apa yang mbak Elly pikirkan, yakni : mungkinkah karena terlampau banyak pesan non verbal yang saya baca? Kenapa saya setuju dengan pendapat mbak Elly? Karena hal itu pula yang kerap terjadi dalam diri saya.
Faktor perubahan pola pikir barangkali berpengaruh pada gaya dan pilihan membaca setiap orang. Sehingga tak setiap bacaan berupa rangkaian kata dalam buku kertas semata, melainkan pula berupa buku semesta. Atau karena faktor usia? (idiiiih ... emang saya udah tuee?) hihi ...
Nah, sekarang saya ingin tag book ini diteruskan kepada :
1. Kang Sugeng
2. Elsa Yellow Life
Selamat menghangatkan hati dalam bacaan yang menghangatkan gerimis sore ini
Senin, 18 Januari 2010
Istana Cinta
Angin masih menyisakan dingin
Seperti saat kata itu menelisik
genggaman cita dan seutas cinta
yang ada
seperti telah terjalin
lama di alam sebelum kita bersua
Embun masih menggelayuti dedaun
seperti kala jemari itu menari
mengenali ceruk di relung kita berdua
Entah telah sampai dimana
pengertian itu hadir dan dipahami
seperti janji yang telah ada
di alam jauh sebelum kita bersama
Istana itu telah berdiri
jauh sebelum kita membangun
kita hanya tinggal menata jiwa
agar ia hidup dan bernyawa
seperti ikrar yang telah tersabdakan
di alam
lama sebelum kita menyatu
gambar http://adit9.multiply.com/journal/item/160
Kamis, 14 Januari 2010
Bangun Shubuh (Sebuah Nostalgia) - 2
Apa?
Itu, bangun shubuh. Anak-anak, susah banget.
Tapi tahukah anda bahwa sebenarnya itu hanyalah soal kebiasaan ?
Saat balita, terutama diantara usia 3 – 4 tahun, anak-anak kerap terbangun saat shubuh dan langsung bermain. Biasanya mereka bangun pukul setengah 4, saat banyak orang tengah nikmat-nikmatnya terlelap. Tidak ada istilah ‘lulungu’ atau ‘baruruten’ yakni keadaan adaptasi antara alam tidur dan alam nyata. Orang sunda menyebutnya dengan istilah cenghar. Lalu apa yang kita lakukan? Biasanya para ibu (termasuk saya dulu, sekarang gak lagi, alhamdulillah) langsung membujuknya agar tidur lagi!
Secara tidak langsung ibu tersebut tengah membiasakan mereka untuk kembali tidur pada saat seharusnya mereka melaksanakan sholat shubuh! Kalau saja setiap orangtua membiarkan mereka terjaga terus maka mereka akan melihat bagaimana ayah ibunya mendirikan sholat tahajud dan melanjutkannya dengan sholat berjamaah di waktu shubuh. Tak mengapa mereka hanya menonton (atau malah tak acuh karena sibuk dengan mainannya), sebab itulah pelajaran pertama yaitu melihat teladan. Tahukah anda, saat itu memory anak tengah menyimpan rekaman peristiwa yang akan terpampang kelak di saat yang tak terduga.
Beberapa puluh tahun yang lalu, saat saya masih kanak-kanak, dibangunkan saat shubuh adalah kegiatan yang paling menyebalkan.
Sungguh!
Aki akan berkeliling untuk mengetuk pintu kamar kami satu per satu. Kemudian ditungguinya kami berwudlu agar tak sekedar basah, dengan sepenuh sabar dan sayang. Setelah itu kami beriringan menuju mushola di belakang rumah. Kami sholat shubuh sambil terkantuk-kantuk.
Anehnya, usai sholat shubuh kantuk itu hilang lenyap. Niat untuk kembali tidur jadi batal. Biasanya kami langsung melaksanakan tugas harian kami, mandi, siap-siap sekolah dan sarapan.
Sekarang, ketika saya dan adik-adik telah memiliki anak, baru menyadari betapa pembiasaan dan keteladanan yang diberikan orangtua kami sangat membekas dalam hati. Nasihat tak hanya disampaikan melalui lisan, tetapi diejawantahkan pula dalam bentuk pembiasaan yang dilakukan dengan kasih sayang.
Setelah punya anak, setiap orang akan mendapat pengalaman bahwa tak mudah menanamkan nilai-nilai kepada mereka. Dibutuhkan keseriusan dan penyerahan diri yang utuh penuh bagi proses tumbuh kembangnya. Mereka ada sebagai mata rantai kehidupan yang tak terputus bagi kesempurnaan kita sebagai manusia ‘khalifatu fil ardl’ dan orangtua berperan sebagai guide-nya dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai kompasnya.
Saat semua pola pengasuhan dikiblatkan pada arah yang tepat dengan aturan main yang jelas, maka kesulitan dan masalah apapun yang menghadang di depan akan lebih mudah diatasi, Insya Allah. Sebab orang-orang yang berada dalam team itu, katakanlah begitu, telah dengan cantik bersinergi dan saling mengisi. Jiwa mereka telah terisi makanan ruhani yang bergizi, sehingga siap berhadapan dengan macan sekalipun.
Bangun shubuh akan membuat badan sehat, pikiran bernas dan hati lapang. Udara shubuh yang bersih berpengaruh positif bagi saraf.
Maka ajak anak-anak kita : yuk bangun shubuh …!
Selasa, 12 Januari 2010
Pengasuhan Orangtua (Sebuah Nostalgia) - 1
Bray … balebat
Anaking, jimat awaking
geura hudang geura nyaring
duh … geura nyaring
Balebat di wetan ngembat
ciciren surya sumirat
beuki nyingray lalaunan
kasapih ku kingkilaban
Geus lain wancina deui
hidep hirup dina ngimpi
tibra ngeukeupan impian
Titenan tuh kanyataan
Bray … balebat
Lirik & lagu : BIMBO
Sepenggal lirik dalam wanda hariring (lagu) Sunda yang dinyanyikan oleh kelompok Bimbo diatas, kerapkali melemparkan hati dan benak saya akan arti sebuah cinta yang teramat dalam, baik cinta terhadap buah hati maupun cinta terhadap alam. Semakin disimak, semakin terasa bahwa setiap kata mengandung begitu banyak makna.
Bagi sahabat blogger yang bukan orang Sunda, baik saya terjemahkan sedikit, meski sejatinya banyak bahasa Sunda yang sulit diterjemahkan karena ia (bahasa Sunda) kerap menyertakan rasa dalam setiap katanya. Tapi, semoga terjemah bebas yang serbamini dan terbatas ini dapat sedikit memberi gambaran.
semburat fajar pagi ...
anakku sayang, permata bunda
lekas bangun lekas terjaga
duh ... lekaslah jaga
cahaya timur t'lah menyapa
pertanda hangat semesta rasa
mengelus alam pelan perlahan
terbias denyar mentari pagi
Bukan saatnya lagi, sayang
engkau hidup dalam mimpi
lelap mendekap impian
fahami kenyataan yang terbentang
di depan
Dulu, saya mendengar lagu itu hampir setiap pagi. Paman saya, yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa Unisba memutarnya, sementara saya sibuk bersiap pergi sekolah. Meski tak serius mendengarkan, telinga dan otak saya menyimpannya hingga berpuluh tahun kemudian. Selain mengingat nadanya, kini saya bias lebih merasakan sensasi liriknya yang sarat kasih dan pengharapan yang tinggi. Kini saya juga paham tentang arti penanaman cinta dan segala macam pembiasaan yang bernilai positif pada anak. Bahwa cinta, kasih sayang serta kegiatan dan perilaku yang dilakukan secara terus-menerus akan berdampak besar bagi pertumbuhan serta perkembangan individu secara signifikan. …
Itu baru dari sepenggal lagu, belum lagi ragam cinta dan pembiasaan lain yang mengisi perjalanan hidup sejak lahir hingga dewasa. Sebagai orang yang hidup di lingkar budaya Sunda, saya diajari hal-hal sederhana menurut adat istiadat sunda yang mengagungkan nilai-nilai luhur moral dan etika. Seperti juga di banyak tempat di
Nenek moyang kita mewariskan nilai-nilai budaya yang luhur. Budaya tidaklah diterjemahkan secara sempit hanya pada sebentuk seni dan tarian semata, melainkan juga pada perilaku hidup sehari-hari. Budaya bercerita, budaya bersilaturahmi, budaya saling menolong, budaya hidup bersih, budaya jujur, dan banyak budaya lain yang hampir menghilang dari kebiasaan kita sehari-hari terutama bagi mereka yang hidup di
Mereka yang masih dengan setia memelihara budaya luhur leluhurnya biasanya hidup lebih nyaman dan bahagia. Nyaman dan bahagia tidaklah identik dengan keadaan serba ada. Rasa itu tumbuh dari keikhlasan menjalani hidup yang telah digariskan Yang Mahakuasa. Bahkan menurut pakar pendidikan dan kebudayaan, Bapak Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang melaksanakan budaya Sunda seperti cageur, bageur, bener, pinter, tidaklah kurang pangan, sandang, papan sehingga hidup cukup yang berbahagia lahir dan batin. Saya mengamini pendapat itu, tentu saja, berdasarkan apa yang saya dapat dari pola asuh orangtua.
Sejak saya mulai mengenal arti sebuah kata, orangtua selalu menggunakan bahasa kalbu. Bahasa yang mewakili perasaan terdalam. Yaa, bahasa Sunda. Dari lisan mereka tak pernah meluncur kata-kata yang mengecilkan, selalu membesarkan hati, bertenaga dan bersayap. Bagaimanapun marahnya, mereka terpelihara dari sikap dan ucapan kasar. Kini saya tahu, selain meneruskan estafeta pengasuhan berbasis budaya merekapun menerapkan sunnah Rasul yang oleh para ulama diisyaratkan melalui kalimat ini : “ …. Ucapan (yang baik atau buruk) seseorang kepada anaknya adalah doa …” Rupanya orangtua saya tak ingin anak-anaknya berperilaku dan bernasib buruk hanya karena kesalahan mereka dalam berkata-kata.
Dan sabda Rasul yang ini :
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Mahalembut. Dia suka akan kelembutan. Allah akan memberikan balasan dari kelembutan yang tidak Dia berikan kepada sikap keras dan kasar serta sikap-sikap lainnya.”
“Sesungguhnya berlaku lembut terhadap sesuatu apapun itu akan dianggap elok. Dan merenggut sesuatu dengan kekerasan itu akan dianggap buruk.”
Jauh sebelum kita mengenal kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan segala macam teori kecerdasan yang berkembang saat ini, budaya dan nilai-nilai religi telah demikian fasih mereka terapkan dalam pengasuhan anak, meski barangkali mereka belum mengenal teori-teori tersebut. Tapi bukankah segala macam teori akan bernilai nol bila tak ada pengamalannya? Sebab ia tak menghasilkan apapun selain tumpukan aksara dan retorika semata.
gambar : dipiti.com
Sabtu, 09 Januari 2010
Kembali ke Rumah
Aaaah ... setiap kali usai berjalan. Setiap kali usai melangkah. Setiap kali usai perjalanan. Kembali ke rumah adalah sebuah kenikmatan, kelegaan, kenyamanan. Seolah ada banyak hal tertinggal kemudian dapat.
Perjalanan adalah pengelanaan, pengembaran dan pencapaian. Sedang rumah adalah saat jeda, perhentian, pengembalian serta ruang bagi istirah.
Meski ini rumah (perhentian, saat jeda dan ruang istirah) sementara, sebelum kelak aku pulang ke rumah keabadian, aku tahu Tuhan telah memilihkan ini untukku.
Maka Yaaaa Allah, terima kasih aku telah kembali ke rumah dengan selamat. Izinkan aku berharap kelak Engkau pulangkan aku ke rumah yang tak mampu kugambar oleh sebab demikian Rahman RahimNya Engkau ...
Jumat, 01 Januari 2010
PUISI AWAL TAHUN
Katamu
Kereta itu telah lewat tadi malam
bersama rinai hujan yang turut menghapus jejak di jalanan
maka tak mungkin lagi menghitung cahaya
yang berlarian bersama angin, dari kaca jendelanya
Lalu mengapa engkau masih disini ….?
Katamu
Angin itu telah terbang mencuri mimpi
semenjak kutinggalkan ia di setumpuk diary
diam diantara ribuan harapan, menumpuk diantara kebisuan teka-teki
Katamu
Tak ada lagi yang bisa diubah
sebab ia telah pergi
Katamu
Aku masih disini, menunggumu
… aku? …
Ya, kamu
biar kamu tahu
waktu telah menipu kita
Katamu
putuskan hari ini untuk mengejar kereta
biar cahaya itu kembali berkelebatan di jendela jiwa
(bagi sahabat jiwa yang setia mengeja waktu)