Rabu, 20 Februari 2013

BuDi dalam Kenangan

Siang itu setiba di sekolah, seorang teman mengulurkan sebuah bingkisan berupa tas kain berwarna putih berisi sebuah Alquran kecil dan sebungkus rollcake.
"Dari pak Edi ..." katanya
"Masya Allah, 40 hari almarhumah ..." seruku tertahan.
Tiba-tiba saja aku menyesal tidak mengingat hari ini. Berarti hari ini, atau mungkin kemarin (?) ... ya tepatnya kemarin, adalah  40 hari sudah sahabat kami pulang menemui panggilanNya.  Ibu guru cantik murah senyum yang selalu rendah hati, bu Diana Setiawati, itu pergi di pagi hari bulan Januari secara mendadak. Begitu tiba-tiba. Sungguh, aku tak ingin menyesalinya sebab kita memang tak pernah bisa benar-benar memiliki seseorang. 

Sekarang aku teringat kembali hari-hari terakhir bersamanya.  Aku kerap menyapanya dengan sebutan sayang : BuDi.Ya, BuDi. Sapaan kecil dari Bu Diana.

Senin itu, 7 Januari 2013, dengan bergegas ia menghampiriku di perpustakaan.
"BuNi ... (iapun memanggilku dengan sapaan kecil)," tegurnya riang. Kami saling berpelukan. Biasa. Itu yang kami lakukan setiap kali bertemu. Terlebih hari itu adalah hari pertama masuk sekolah pada semester genap, setelah 2 minggu masa libur.
"Assalamu'alaikum ... he ... telat. Kumaha damang? pinjem Al-Quran yang ada terjemahnya, dong."
Tidak ada obrolan lain. Sungguh, hari itu ia nampak terlihat bergegas. Usai menerima Al-Quran yang ia ingin, ia hanya berujar : "Sebentar, ya, BuNi, nanti dikembalikan."
Sudah. Siangnya kami tak sempat lagi bertemu. Alquran itu diterima oleh salah seorang rekan muda petugas pelayanan di perpustakaan.

Selasa, 8 Januari 2013 pukul 6 kurang sekian menit, hp-ku bergetar.Sebuah sms mengabarkan kecelakaan yang menimpa sahabatku itu. Sebuah truk menabraknya, dan akan segera dibawa ke rumah sakit.
Ya Allah ...
aku langsung gemetar. Hendak kemana BuDi sepagi ini? Apa yang terjadi? Bagaimana peristiwanya? Apakah ia sedang naik kendaraan? Bersama siapa? Suami dan anak-anakkah? Banyak sekali pertanyaan berkecamuk sementara kesibukan pagi menjelang anak-anak pergi sekolah terus berlanjut, hatiku tidak tenang. Suamiku langsung mengajak untuk segera ke rumah sakit saja, melihat kondisinya. Dan tentu saja kuiyakan.

Pagi itu aku diberondong sms serta telepon dari teman-teman. Ada yang bertanya mohon kejelasan, ada pula yang mengirim sms serupa dengan yang pertama. Kubalas sekedarnya sambil mengabarkan bahwa aku akan segera melihat kondisinya di rumah sakit. Kebetulan rumah sakit yang dimaksud dekat dengan rumahku. Pagi itu kami berputar-putar dalam ketidaktahuan. Keadaan itu makin membuatku gegas untuk segera menemuinya.

Lima belas menit kemudian, saat aku siap berangkat. Sebuah telepon tiba di hp suamiku dari rekan kerjanya yang sekaligus tetangga BuDi. Kabar yang sungguh menghantam ruang dengarku sekaligus menjebol pertahanan bendungan air mataku. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un ... 
Ya Allaaah ...
Betapa waktu memang tak pernah sepenuhnya milik kami.

dalam tangis aku ambil air wudlu kemudian mengabari teman-teman dan menuju rumah BuDi.

Disanalah aku tahu kejelasannya. Almarhumah tengah menyapu dedaunan yang berserak di pinggir jalan depan rumahnya saat sebuah truk menabraknya tanpa ampun. Disana pula aku tahu bahwa aktivitas menyapu itu ia lakukan setiap subuh. Menjadikan area itu nyaman dijadikan tempat mangkal para tukang ojek. Sungguh, aktivitas sosial yang ia lakukan secara istiqomah, kelak akan menjadi saksi di akhirat dan ... subhanallah ... menjadi sebab kepergiannya menemui Penciptanya, Yang Maha Mengasihinya.

BuDi ...
kami ikhlas sungguh melepasmu pergi

Pagi itu aku diijinkan Allah untuk turut memulasara jenazahnya. Memandikan, mengafani, menyolatkan hingga mengantarnya dalam pelukan bumi. Bergelombang para pelayat tiba di rumah duka, mengisyaratkan betapa almarhumah adalah seorang yang baik dan shalihah. Bahkan seorang ibu yang sempat hadir di pemakaman berbisik : "Bu Diana, saya tidak mengenalmu, tetapi Allah menakdirkan saya ada disini, ini sebuah pertanda bahwa engkau adalah seorang yang baik. Semoga Allah menempatkanmu di tempat mulia di sisi Allah. Aaamiin ..."
Belakangan aku tahu, ibu itu adalah teman dari teman almarhumah.

Sekarang, saat aku mengenangnya dalam tulisan ini, aku ingat segala gerak-geriknya, senyum tulusnya, pelukannya, tawanya, hingga suaranya saat bercerita tentang si kembar dan si bungsu Ania. BuDi adalah seorang ibu dari tiga orang putri. Pertama, si kembar Azmia dan Azkia, tengah menghadapi ujian sekolah dan menuju Perguruan Tinggi, sama seperti anak sulungku. Hingga kami sering berbagi cerita dan informasi seputar pendidikan anak-anak. Sedang si kecil Ania kelas 6 SD dan akan menempuh ujian pula. Tiga buah hati itu kini menjadi harta sangat berharga bagi suami dan mamih (ibu tercinta) yang juga tegar melepas kepergiannya. Betapa tak pilu mengingat mereka yang ditinggalkan demikian sedih dan kehilangan. 

Tetapi, sungguh, menjelang kepergiannya, BuDi telah meninggalkan kebaikan bagi suami dan anak-anak. Sebuah amanat agar anak-anak menegakkan sholat dan mengaji setiap waktu. Sebuah kebiasaan bersedekah dan berbagi kepada siapapun setiap saat, yang selama hidupnya tak pernah alpa ia jalankan. Dan ... selalu menebar salam dan senyum kepada sesiapa yang ditemuinya, yang dihadapinya. Ya, senyum tulusnya  memang manis. Siapa sih yang tidak faham arti kata tulus, bahkan seorang bayipun tahu sebuah mutiara hati. Duhai, kenangan itu ...

Maka malam tadi, aku mengiriminya doa dengan Alquran yang dititipkan siang itu. 
Juz 19 kubacakan. Doa pengampunan kulangitkan, semoga engkau bahagia di alam kubur, sebab doa anak shalihah itu, ketiga putri cantikmu, telah dengan setia menerangi kuburmu hingga saatnya nanti kita semua dibangkitkan kembali. Doaku semoga Allah kabulkan pula, bukti aku tak pernah melupakanmu, bukti betapa amalmu tak pernah meninggalkanmu. Lihat betapa murid-muridmupun dengan ikhlas terus mengingat dan mendoakanmu.

BuDi sayang, sahabatku ...
Allah telah menjanjikan surga bagi istri yang ikhlas mengabdi pada suami, dan suami rela ketika ia pergi
engkau memiliki itu
Allah telah janjikan surga bagi anak yang berkhidmat kepada ibunya, dan ibu rela ketika ia pergi
engkau memiliki itu
Allah telah janjikan tidur panjang yang tenang hingga tiba di hari kebangkitan bagi dia yang memiliki doa anak shalih, ilmu yang manfaat dan amal jariyah
engkau memiliki itu
Allah telah menjanjikan istana megah bagi orang yang senantiasa bersedekah
engkaupun telah memiliki itu
dan janji Allah tak pernah salah
Ia sungguh tak pernah ingkar
Lalu untuk apa kami bersedih, bukan?
sebab engkau telah tenang dan bahagia disana

maka dengan tenang
kusudahi saja tulisan ini
Selamat istirah, Sahabat ...



Senin, 18 Februari 2013

SURAT-SURAT IBU


“Apapun yang  terjadi hari ini, Nak, tetaplah ingat Allah. Ibu sayang kamu.”

Sebaris kalimat itu kutemukan di  dalam lemari pakaian sulungku. Tertulis kecil dalam secarik kertas dalam sebuah amplop putih yang menempel di dinding bagian dalam lemari tersebut. Tulisanku, suratku, yang kutulis untuknya, entah kapan. Kesibukanku terhenti sejenak, beralih ke amplop yang ternyata berisi kumpulan surat-suratku terdahulu.
Subhanallah, anakku ….
Mataku merebak dalam haru. Rupanya begitu apik ia menyimpannya sebagai barang pribadi yang dijaga sedemikian rapi. Kubaca ulang barisan kalimat dalam beberapa lembar surat yang kutulis dalam masa yang berbeda itu, menjoprak sendirian.

Dan benang halus bernama cinta dan kasih antara ibu dan anak terentang demikian panjang, pagi ini.  Dia  di sekolah dan aku di ruang tidurnya. Tak kentara namun kuat terasa. Benang yang dengan halus Tuhan titipkan kepada setiap ibu di dunia.

Sebagai seorang ibu dari remaja ABG berusia 17 tahunan, aku kerap khawatir akan sisi negative pergaulan dan lingkungan sekitar yang mengelilinginya setiap saat. Nasihat panjang lebar tak lagi cukup, malah bisa dibilang bisa menjadi boomerang, sebab telinga menjadi panas dan kebal tetapi kurang efektif membangun jembatan komunikasi, bila tidak dikemas dengan cerdas. Sulungku adalah jejaka tampan yang berpenampilan menarik, cenderung diam, dan tidak banyak bicara. Ngobrol dengannya perlu kesabaran, sebab ia lebih banyak mendengar ketimbang menimpali pembicaraan. (Padahal aku, ibunya, terkadang ingin mendengar apa saja yang ia rasakan!) Tetapi tentu saja, aku tak bisa mengubah karakternya yang telah terbangun selama belasan tahun ini. Bahkan sejak bayipun ia sudah terlihat cool … Emosinya tidak meledak-ledak. Ia sungguh remaja yang kalem.

Lalu bagaimana aku membangun istana megah bernama komunikasi bersamanya? Bersama jejakaku, yang aku harapkan menjadi teladan bagi adiknya dan kelak imam bagi istri dan anak-anaknya? Bagaimana aku menyampaikan harapan, kebaikan-kebaikan dan keindahan berbagi, seperti yang dulu sering kami lakukan saat ia masih balita? Saat aku masih dengan leluasa memeluk dan menciuminya, dan ia tergelak kegelian? Saat ia, dengan bahasa kanaknya, menyampaikan apapun yang ia rasakan? Bagaimana, Nak? Tadi malam, engkau masih mencari tanganku untuk kau genggam, kau peluk dan kau taruh di kepalamu, pertanda kau ingin diusap-usap menjelang tidur. Dan itu membuatku khawatir, sebab hal itu kau lakukan bila engkau tengah merasakan sakit. Benar, keningmu hangat, Nak. Kubisikkan kata-kata penguat, kuyakin itu doa yang tak terhijab. Engkau senyum. Dan selalu, engkau hanya menjawab apa yang kutanyakan. Selebihnya … aku hanya menduga-duga. Dan ketika kutanya mengapa, kau jawab : “ibu selalu tahu apa yang kakang rasa, apa yang mau kakang minta, bahkan sebelum kakang bicara.” Duh … benarkah?
 
Duhai … Alangkah cepatnya waktu berlari. Engkau telah tumbuh menjadi lelaki yang banyak menyimpan. Semoga simpanan kearifan yang kau timbun, Nak, meski di usia semuda ini. Tetapi, tetaplah aku, ibumu, berharap, kisah apapun yang akan dan sedang kau jalankan, akulah orang yang kau percaya sebagai tempat bercerita ketimbang yang lain. Duh, seegois inikah harapan seorang ibu yang berharap? Toh, seiring usia, dia pasti punya seseorang yang bisa dijadikan tempatnya berbagi cerita.
Maka, aku tahu kini, kenapa berlembar kertas kutulisi untuknya. Meski tak pernah berbalas, karena memang aku tak menanti balasan, kertas-kertas itu telah mewakiliku menyampaikan sesuatu yang tak sempat  kusampaikan secara lisan. Kesibukannya yang kian padat setiap hari, sekolah, les tambahan di sekolah, les di lembaga luar sekolah, dan tugas akhir telah memangkas komunikasi verbal kami. Meski aku yakin, sentuhan tangan saat pamit dan cium tangan setiap pagi dan petang, usapan perlahan di kepalanya hingga tatap pengertian antara kami, memiliki kekuatan lebih dahsyat ketimbang bahasa verbal yang diuntai sekalipun. Aku masih merasa perlu untuk mengiriminya surat-surat itu.
Bila surat itu usai dia baca (biasanya malam hari, saat baru saja ia temukan di bawah bantalnya), ia akan menemuiku dan mencium tanganku. Kami bertatapan, tersenyum dan pengertian itupun kembali terbangun. Kami saling mengerti dalam diam. Barangkali agak aneh bagi orang lain. Bagiku juga mungkin begitu, pada awalnya. Tetapi kini, aku diyakinkan oleh kenyataan, betapa surat-surat itu berharga baginya. Ia simpan dengan rapi, ia tempatkan di ruang privatnya, cenderung agak tersembunyi. Betapa ia menganggapnya sebagai rahasia kami berdua. Sungguh, aku merasa tersanjung dan dihargai.
Nak, ibu sayang kamu …
Kini, selembar kertas yang kutulis paling akhir ada dalam genggaman. Bercerita tentang namanya : Mohammad Hanif Hilmy.  Tak seperti surat-surat lain yang pendek dan singkat, yang ini agak panjang,  3 halaman. Ohya, aku ingat, surat ini kutulisi ketika aku usai membaca buku mas Fauzil Adhim : Positive Parenting. Jadi, wajar laaah … bila kemudian aku banyak menulis, pasti banyak yang ingin disampaikan karena selama ini luput dari pikiran.
Sekali lagi, ini barangkali cara berkomunikasi yang aneh. Tapi, dulu aku pernah baca buku Chicken Soup for Mother (kalau gak salah judulnya begitu), surat pendek sering dijadikan media komunikasi antar ibu dan anak juga di sana. Jadi, aku tak merasa aneh sendirian. Setidaknya, aku bisa merasakan manfaatnya.
Kini, kubereskan kembali surat-surat itu. Sama persis dengan sebelumnya. Biarlah dia disana tinggal dengan sempurna, menjadi saksi bisu perjalanan ‘obrolan’ kami yang hening. Pada saatnya nanti, ia yang akan bercerita panjang sekali. Tentang cinta yang tak pernah lekang. Tentang sebuah istana yang dibangun dengan mozaik permata atas nama cinta dan pengkhidmatan seorang ibu. Tentang kita yang terus belajar membangun atas nama hamba Allah.
Ya, tentang kita, Nak ...

Jumat, 08 Februari 2013

Ketika Ibu Memilih Universitas untuk Anaknya

Musim ujian sudah dekat

dan ...
SNMPTN atau Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri sudah dimulai. SNMPTN adalah istilah baru untuk jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) atau jalur Undangan, yakni seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes, tapi melalui seleksi nilai rapot beberapa semester (dulu hanya 3 semester, sekarang 5 semester).

Saya tak begitu paham apa maksudnya dengan pergantian istilah seleksi yang setiap tahun berubah terus, sehingga membingungkan. Biasanya jalur ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Nah, tahun 2013 ini, SNMPTN sudah mulai dibuka sejak tanggal 1 Pebruari hingga 8 Maret 2013. Maka sibuklah para siswa, civitas sekolah dan para orangtua.

Bukan saja sekolah dan siswa kelas XII yang sibuk, kesibukan itu menular secara otomatis dan berkelanjutan kepada para orangtua siswa. Orangtua sekarang 'harus' turut aktif mencari peluang dan alternatif bagi kelanjutan sekolah anaknya bila tidak ingin kehilangan kesempatan. Atau bila tidak ingin keliru memilih universitas atau jurusan. Kekeliruan memilih akan berdampak sangat jauh bagi kelancaran pendidikan maupun karier ke depannya.

Dampak itu bisa beraneka. Pertama, timbul rasa jemu saat belajar, karena jurusan yang tidak sesuai dengan minat. Kedua, menemukan pekerjaan yang tidak sesuai yang pada akhirnya menimbulkan stres dan ketidakbahagiaan. Itu bila dipandang dari sisi individu, belum lagi bila kita melihatnya dari sudut pandang lebih makro, yaitu bagi kebermanfaatan pada sesama, lingkungan dan bangsa ini. Apa jadinya bila masa depan bangsa ini dikelola oleh orang-orang yang tidak bahagia dalam tugasnya. Astaghfirullah ... sekarang saja banyak yang korup dan lari ke narkoba. Naudzubillahi min dzalik ... Jangan sampai para orangtua keliru bertindak atau tidak maksimal memberikan kasih dan arahan sehingga berdampak besar bagi kelanjutan masa depan mereka.

Maka, untuk meminimalisir dampak buruk 'masa depan' (meski tak bisa dipastikan juga kalau keikutsertaan orangtua dalam menentukan pilihan akan membuat hal buruk menjadi tiada, tapi minimal bisa diantisipasi lah), orangtua sekarang tidak bisa menyerahkan begitu saja, pilihan sekolah, kepada anak. Kalimat : "Ya,bagaimana kamu saja, ibu mah gak paham," menjadi kalimat kontraproduktif yang tidak membuka cakrawala berpikir dan berkomunikasi antara anak dan orangtua. Setidaknya, ada beberapa petuah serta arahan alias petunjuk teknis tentang pilihan yang mereka ambil. Meskipun di sekolah mereka sudah mendapatkan bekal wawasan dari guru BK (Bimbingan dan Konseling), tetap saja, diskusi perlu dilakukan di rumah.

Dulu, atau setidaknya zaman saya, ketika istilah dan 'pintu' masuk penerimaan mahasiswa baru belum sebanyak sekarang, rasanya prosesnya gak sejlimet ini. Memang, seiring era komputerisasi, calon mahasiwa sekarang dimudahkan dengan sistem pendaftaran on line. Beberapa alternatif pilihan universitas bertebaran di situs-situs yang terbuka lengkap dengan prosedur dan profil campus. Tapi, hal itu membutuhkan pula keterampilan berteknologi. Tak sulit bagi anak-anak, tapi bagi ibu, tentu saja berbeda. Ada banyak ibu yang masih gaptek, meski banyak pula yang sudah akrab dengan teknologi ini. (Ibu zaman sekarang harus cerdas, bukan? agar bisa terus 'nyambung' dengan anak-anaknya). Sekarang, bila anak tidak lolos dalam seleksi awal via SNMPTN, mereka masih punya peluang di beberapa 'pintu', yakni SBMPTN (sebelumnya bernama SNMPTN, lebih dulu lagi UMPTN dan Sipenmaru) dan jalur Mandiri yakni seleksi yang diadakan secara mandiri oleh pihak universitas (jalur ini biasanya memerlukan dana lebih mahal). Atau bila kemudian mencari universitas swasta.

Nah, disinilah orangtua bisa berperan lebih aktif, mencari universitas yang sesuai dengan minat dan bakat anak, lokasi yang strategis (sesuai kriteria, sebab strategis itu relatif berdasarkan pertimbangan setiap orang), kalau bisa terakreditasi A dan biaya terjangkau. Yang harus diperhatikan dalam memilih adalah, ini pont pentingnya, jurusan harus sesuai dengan minat dan bakat anak.

Ohya, jalur SNMPTN adalah gratis. Pokoknya, bila sesuatu berembel-embel kata "Nasional" maka harus gratis. Bila dulu jalur masuk non tes hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki nilai akademis baik (dengan rerata nilai yang telah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan) setidaknya 10 besar di sekolah, dan berbayar, maka tahun ini semua siswa kelas XII berhak untuk mengikuti seleksi SNMPTN secara gratis.

Kesempatan jadi lebih terbuka bagi setiap lulusan tetapi yang diterima menjadi lebih sedikit secara prosentasi meski secara jumlah lebih banyak. Bandingkan saja, di tahun 2012 dari 236.811 siswa yang mendaftar SNMPTN jalur undangan, yang lolos sekitar 22,55 persen, termasuk di dalamnya siswa penerima program bidik misi sebanyak 15.313 atau setara dengan 20,41 persen
(sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/26/15081413/53.401.Siswa.Lolos.SNMPTN.Jalur.Undangan)
Maka di tahun 2013 ini, ada kurang lebih 1.800.000 siswa SLTA dan SMK yang diperkirakan akan terseleksi, sementara yang diterima adalah 150.000 siswa alias kurang dari 10 persen.

Bila melalui jalur gratis ini tidak lolos seleksi, maka bersiaplah para ibu mencari alternatif lain bagi kelanjutan studi anak. Yang gratis itu bukan biaya kuliahnya, lho, tapi biaya daftarnya, hehe ... (sambil menerawang, kapan ya ada kuliah gratis di Indonesia? ^_* ngayal tingkat tinggiii ... eh kalau gak salah sudah ada program BOPTN, ya?! Bahkan di UPI Bandung sudah cair untuk angkatan 2012 ini. Lumayan, untuk para ortu bisa menarik nafas dan ancang-ancang.

Buat ibu-ibu yang sedang resah dan gelisah, jangan keterusan ya!
Yuk, kita mencari peluang itu. Insya Allah, selalu ada jalan terbaik yang Allah berikan bagi anak-anak kita, asalkan kita mau mencari dan menjalaninya.
Apapun hasilnya, sepanjang ikhtiyar kita maksimal, itulah yang terbaik dari Allah.
Semoga anak-anak kita dimampukan Allah untuk menebar sebanyak-banyaknya manfaat, bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan terlebih buat agamanya.
Aaamiiin ...