Selasa, 13 September 2011

"Bu, Aku Mau Al-Fatihah ..."

Siang itu, ponselku berdering ... Suara suamiku terdengar dari seberang.

"Cici perlu ibu sekarang ..." Ok, aku pulang.

Tiba di rumah, puteri kecilku menyambut dengan buku di tangan. Kerudung pink nya melambai tertiup angin kemarau yang dingin.

Senyumnya lebar ditambah wajah cemas. Ada apa?

"Ibu, Cici masuk lima besar. Finalnya sekarang ba'da Dhuhur," serbunya tak sabar.

"Alhamdulillah ..." kupeluk tubuh berbalut baju pink, sambil kulirik jam. Pukul 11.58. Hanya ada kesempatan kurang dari satu jam untuk menghafal naskah pidato yang baru.

Pagi tadi, dia bersama teman-teman pengajian dan pembinanya, pergi ke kampung sebelah untuk mengikuti lomba dalam rangka mengisi Bulan Ramadhan. Dalam lomba di tingkat kelurahan itu dia ikut bidang Da'i Cilik.

Persiapan sudah dilakukan. Alhamdulillah lancar. Dan kini ...

"Materinya harus baru, Bu. (Naskah) yang dari ibu panjang. Cici gak bisa ngafalin cepet. Kan musti sekarang," serunya cemas.

Tadi pagi memang aku menyiapkan naskah kedua, jaga-jaga bila dia masuk final. Maklum persiapannya mepet dan pemberitahuan harus dua naskah baru diperoleh tadi malam, sedangkan anakku masih harus manggung dulu. Manggung dalam rangka memperingati kemerdekaan plus buka bersama.

Aku mendengarkan dengan sabar. Lalu?

"Yang ini aja, Bu," ia sodorkan buku catatan bekas kelas 3. Sekarang ia kelas 4 SD.

"Cici mau bacain arti surat Al-Fatihah aja."
Keningku berkerut. Dia kan mau lomba pidato, bukan saritilawah ...

Melihat ekspresiku, ia merajuk. Subhanallah, pintar sekali dia membaca wajah ibunya.

"Buu ... aku mau Al-Fatihah aja!"

Tiba-tiba, Allah mengingatkanku pada buku-buku parenting tentang pengasuhan anak dan efek pemaksaan kehendak orangtua yang seringkali berdampak buruk bagi anak. Biarlah anak nyaman dengan pilihannya, maka segala macam potensinya akan keluar dengan optimal. Dia tidak akan merasa terbebani dengan segala macam tetek bengek yang 'tak penting'. Saat ia dijejali informasi sementara jiwanya tak siap, maka hasilnya adalah bencana. Bencana bagi jiwa anak. Bencana bagi perkembangannya. Padahal sekecil apapun sebuah memori, ia akan terus tertanam dalam jiwanya dan terbawa hingga ia dewasa. Aku tak mau menorehkan 'tinta hitam' dalam hatinya. Maka ...

"Oke ..." seruku riang. Kuperbaiki sikapku."Mana bukunya, kita liat, seperti apa Cici kali ini. Yuk latihan. Siap?"
Anakku melonjak kegirangan. Dengan semangat ia mulai.

"Asalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ... bla ... bla ..."

Dengan lancar surat Al-Fatihah bersama artinya mengalir deras dari mulut mungilnya. Tajwid dan makhorijul hurufnya indah. Aku hanya perlu menambah serba sedikit, dari mulai retorika sederhana, senyum (yang memang sudah alami nempel terus di wajahnya) dan beberapa informasi tentang nama lain surat Al-Fatihah (itupun saya sunting dari buku catatannya).

Usai sholat Dhuhur, ia 'terbang' ke masjid dimana teman dan yang lainnya telah menunggu. Ada tiga orang finalis dari masjid komplek kami. Yang lain dari bidang Tahfidz (hafalan) Qur'an.

Sesuai keinginannya, aku mengantar mereka ke tempat lomba dan menungguinya.

Tak lupa kusertakan doa, agar kiranya Allah Yang Mahalembut meridloi langkah kecilnya.

"Anakku akan menyampaikan kebenaran ayatMu, ya Allah. Tolong lancarkanlah semuanya. Jadikan ia pemenang."

Pemenang adalah ia yang mampu bersyukur saat berhasil dan bisa tetap bersabar saat gagal. Dan aku ingin anakku bisa melewati keduanya.

Ini memang hanya sebuah perlombaan kecil untuk melatih keberanian, tapi dampaknya akan membekas hingga besar saat ia dapat melewatinya dengan gembira dan berprestasi.

Dan hasilnya ...

Cici tampil penuh percaya diri, menjadikannya mampu menguasai panggung. Dan ...
Subhanallah, ia keluar sebagai juara pertama.

Ud'uuni astajiblakum. Berdoalah, maka akan Aku kabulkan.

Mahabenar Allah dengan segala firmanNya.

Hari itu aku belajar banyak dari puteriku.
Hari itu aku berguru kepada Allah.
Tentang melatih menekan ego orangtua. Tentang berserah diri. Tentang mengiringi tumbuh kembang anak. Tentang kesabaran dan keikhlasan.

3 komentar:

  1. sungguh ibu yg bijak mau memahami keinginan puterinya.

    BalasHapus
  2. Subhanallah...

    Teteh, terharu Ana membaca ini. Teh, kok ndak diphoto? Salam untuk anak Teteh yang cerdas yah...

    Btw, Teteh, untuk lomba, Ana mah ikuta2an aja. Nggak peduli blognya sistematis atau enggak :D

    BalasHapus
  3. seneng udah bisa mampir ke sini, semangat terus ya ;) jangan lupa mampir ke blogku ;)

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...