Senin, 18 Februari 2013

SURAT-SURAT IBU


“Apapun yang  terjadi hari ini, Nak, tetaplah ingat Allah. Ibu sayang kamu.”

Sebaris kalimat itu kutemukan di  dalam lemari pakaian sulungku. Tertulis kecil dalam secarik kertas dalam sebuah amplop putih yang menempel di dinding bagian dalam lemari tersebut. Tulisanku, suratku, yang kutulis untuknya, entah kapan. Kesibukanku terhenti sejenak, beralih ke amplop yang ternyata berisi kumpulan surat-suratku terdahulu.
Subhanallah, anakku ….
Mataku merebak dalam haru. Rupanya begitu apik ia menyimpannya sebagai barang pribadi yang dijaga sedemikian rapi. Kubaca ulang barisan kalimat dalam beberapa lembar surat yang kutulis dalam masa yang berbeda itu, menjoprak sendirian.

Dan benang halus bernama cinta dan kasih antara ibu dan anak terentang demikian panjang, pagi ini.  Dia  di sekolah dan aku di ruang tidurnya. Tak kentara namun kuat terasa. Benang yang dengan halus Tuhan titipkan kepada setiap ibu di dunia.

Sebagai seorang ibu dari remaja ABG berusia 17 tahunan, aku kerap khawatir akan sisi negative pergaulan dan lingkungan sekitar yang mengelilinginya setiap saat. Nasihat panjang lebar tak lagi cukup, malah bisa dibilang bisa menjadi boomerang, sebab telinga menjadi panas dan kebal tetapi kurang efektif membangun jembatan komunikasi, bila tidak dikemas dengan cerdas. Sulungku adalah jejaka tampan yang berpenampilan menarik, cenderung diam, dan tidak banyak bicara. Ngobrol dengannya perlu kesabaran, sebab ia lebih banyak mendengar ketimbang menimpali pembicaraan. (Padahal aku, ibunya, terkadang ingin mendengar apa saja yang ia rasakan!) Tetapi tentu saja, aku tak bisa mengubah karakternya yang telah terbangun selama belasan tahun ini. Bahkan sejak bayipun ia sudah terlihat cool … Emosinya tidak meledak-ledak. Ia sungguh remaja yang kalem.

Lalu bagaimana aku membangun istana megah bernama komunikasi bersamanya? Bersama jejakaku, yang aku harapkan menjadi teladan bagi adiknya dan kelak imam bagi istri dan anak-anaknya? Bagaimana aku menyampaikan harapan, kebaikan-kebaikan dan keindahan berbagi, seperti yang dulu sering kami lakukan saat ia masih balita? Saat aku masih dengan leluasa memeluk dan menciuminya, dan ia tergelak kegelian? Saat ia, dengan bahasa kanaknya, menyampaikan apapun yang ia rasakan? Bagaimana, Nak? Tadi malam, engkau masih mencari tanganku untuk kau genggam, kau peluk dan kau taruh di kepalamu, pertanda kau ingin diusap-usap menjelang tidur. Dan itu membuatku khawatir, sebab hal itu kau lakukan bila engkau tengah merasakan sakit. Benar, keningmu hangat, Nak. Kubisikkan kata-kata penguat, kuyakin itu doa yang tak terhijab. Engkau senyum. Dan selalu, engkau hanya menjawab apa yang kutanyakan. Selebihnya … aku hanya menduga-duga. Dan ketika kutanya mengapa, kau jawab : “ibu selalu tahu apa yang kakang rasa, apa yang mau kakang minta, bahkan sebelum kakang bicara.” Duh … benarkah?
 
Duhai … Alangkah cepatnya waktu berlari. Engkau telah tumbuh menjadi lelaki yang banyak menyimpan. Semoga simpanan kearifan yang kau timbun, Nak, meski di usia semuda ini. Tetapi, tetaplah aku, ibumu, berharap, kisah apapun yang akan dan sedang kau jalankan, akulah orang yang kau percaya sebagai tempat bercerita ketimbang yang lain. Duh, seegois inikah harapan seorang ibu yang berharap? Toh, seiring usia, dia pasti punya seseorang yang bisa dijadikan tempatnya berbagi cerita.
Maka, aku tahu kini, kenapa berlembar kertas kutulisi untuknya. Meski tak pernah berbalas, karena memang aku tak menanti balasan, kertas-kertas itu telah mewakiliku menyampaikan sesuatu yang tak sempat  kusampaikan secara lisan. Kesibukannya yang kian padat setiap hari, sekolah, les tambahan di sekolah, les di lembaga luar sekolah, dan tugas akhir telah memangkas komunikasi verbal kami. Meski aku yakin, sentuhan tangan saat pamit dan cium tangan setiap pagi dan petang, usapan perlahan di kepalanya hingga tatap pengertian antara kami, memiliki kekuatan lebih dahsyat ketimbang bahasa verbal yang diuntai sekalipun. Aku masih merasa perlu untuk mengiriminya surat-surat itu.
Bila surat itu usai dia baca (biasanya malam hari, saat baru saja ia temukan di bawah bantalnya), ia akan menemuiku dan mencium tanganku. Kami bertatapan, tersenyum dan pengertian itupun kembali terbangun. Kami saling mengerti dalam diam. Barangkali agak aneh bagi orang lain. Bagiku juga mungkin begitu, pada awalnya. Tetapi kini, aku diyakinkan oleh kenyataan, betapa surat-surat itu berharga baginya. Ia simpan dengan rapi, ia tempatkan di ruang privatnya, cenderung agak tersembunyi. Betapa ia menganggapnya sebagai rahasia kami berdua. Sungguh, aku merasa tersanjung dan dihargai.
Nak, ibu sayang kamu …
Kini, selembar kertas yang kutulis paling akhir ada dalam genggaman. Bercerita tentang namanya : Mohammad Hanif Hilmy.  Tak seperti surat-surat lain yang pendek dan singkat, yang ini agak panjang,  3 halaman. Ohya, aku ingat, surat ini kutulisi ketika aku usai membaca buku mas Fauzil Adhim : Positive Parenting. Jadi, wajar laaah … bila kemudian aku banyak menulis, pasti banyak yang ingin disampaikan karena selama ini luput dari pikiran.
Sekali lagi, ini barangkali cara berkomunikasi yang aneh. Tapi, dulu aku pernah baca buku Chicken Soup for Mother (kalau gak salah judulnya begitu), surat pendek sering dijadikan media komunikasi antar ibu dan anak juga di sana. Jadi, aku tak merasa aneh sendirian. Setidaknya, aku bisa merasakan manfaatnya.
Kini, kubereskan kembali surat-surat itu. Sama persis dengan sebelumnya. Biarlah dia disana tinggal dengan sempurna, menjadi saksi bisu perjalanan ‘obrolan’ kami yang hening. Pada saatnya nanti, ia yang akan bercerita panjang sekali. Tentang cinta yang tak pernah lekang. Tentang sebuah istana yang dibangun dengan mozaik permata atas nama cinta dan pengkhidmatan seorang ibu. Tentang kita yang terus belajar membangun atas nama hamba Allah.
Ya, tentang kita, Nak ...

13 komentar:

  1. Balasan
    1. ahya, bicara tentang anak-anak selalu mengharu-biru memang. Anekarasa juga sih, rempongbahagia, seperti nama blog-mu itu loh hihi ... seru deh mampir kesana!
      Terimkasih ya, sudah singga

      Hapus
  2. Anakku juga udah gadis mak. Berkomunikasi dg remaja memang perlu hati2 spy mereka tetap mrs dekat dg kita tanpa merasa canggung dg pertumbuhannya. Suka suprise ya mak dg cara mrk memaknai keberadaan kita. Ternyata kita lebih dari yg kita duga bagi mereka. Salam sayang utk ananda :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, mak Lusi ...
      Alhamdulillah, mereka ternyata memahami komunikasi yang selama ini dilakukan. Semoga Allah senantiasa memberi bimbinganNya. aamiin ... Trims, ya... salam juga buat anak gadis mak dan adik2nya

      Hapus
  3. Teh... merinding aku membacanya. Komunikasi memang bisa dilakukan dengan banyak cara.. dan semoga melalui surat2 itu si sulung tetap dapat merasakan cinta dan perhatian Teh Ani kepadanya. Kupikir, karena dia pendiam maka cara yang Teh Ani pilih sudah bagus dan mengena. Salam buat anak2nya Teh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, mbak reni ...
      semoga Allah senantiasa membimbing kami dalam membina hubungan ini hingga tetap harmonis hehe (kayak pacaran azza ...)
      Salam juga buat Shasha

      Hapus
  4. ohhh indahnya, udah gmbarnya natural banget, diiringi musik melowww bangettt, saya sampai terharu, apalagi saya juga punya anak ABG, ntar saya ikutin jejak mbak, bikin surat Cinta buat mereka, walaupun tk terbalas, tapi intinya mereka makin sayang dengan ibunya yang single parent, aammiinnn!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. duuuh ... jadi mekar deh ini idung hehe ...
      hatur nuhun teh Aisyah, susah singgah disini, ya. Aaamiin untuk doanya.

      Hapus
  5. Padamu teteh syg,...
    aku belajar arti menjadi ibu, meski tanpa kulihat terasa sekali betapa hatimu begitu lembut memperlakukan anak-anak.

    Aku belajar padamu, teteh...:)

    BalasHapus
  6. kasih sayang ibu memang tiada batasnya

    BalasHapus
  7. terharu kalo baca mengenai perjuangan seorang ibu

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...