Meski seiring perjalanannya, banyak penganut Hindu yang tidak setuju dengan adanya pembagian kasta itu, secara sadar ataupun tidak, selalu ada saja sistem perbedaan perlakuan terhadap beberapa orang atau golongan. Bisa jadi hal ini terjadi karena terlalu lamanya penjajahan Belanda, sehingga sebagian masyarakat terlanjur hidup dalam tradisi 'diskriminasi' terselubung macam itu.
Kenapa tiba-tiba bicara kasta?Saya tidak sedang diperlakukan buruk akibat perbedaan kasta. Tidak.
Saya hanya sedang merenung saja, apakah memang kasta itu merambah hingga ke ketiak budaya masyarakat Indonesia, suku manapun? Bahkan hingga ke pembagian makanan.
Lucu sekali ... (atau apa namanya, ya?). Bagiku ini 'aneh'.
Ya, saya tak mengira bahwa tradisi bisa sedemikian absurd. Sulit untuk dihilangkan, karena masyarakatnya masih menganut rasa sungkan bila dia tidak mengikuti kebiasaan itu.
Ini kisahnya ...
Di beberapa tempat di kampung daerah Jawa Barat (tidak di semua tempat, hanya di beberapa tempat saja), sudah lazim, bila ada hajatan, sebelum hari H (baik pernikahan atau khitanan) si empunya hajat akan mengirim makanan berupa nasi dan lauk pauk (istilahnya : nasi berkat) kepada para tetangga. Berkat itu diberikan sebagai tanda bahwa dia mau menyelenggarakan hajatan. Istilahnya makanan itu pengganti undangan. Tapi, rupanya pembagian berkat ini tidak kepada semua tetangga. Ada kriterianya. Tetangga yang diberi berkat, biasanya tidak diberi surat undangan. Jadi dia harus datang ke rumah si empunya hajat, sebelum hari H tiba. tentu saja dengan membawa amplop (berisi uang).
Sebagian tetangga lain, tidak mendapat berkat. Artinya ia tinggal menunggu surat undangan. Dan harus datang memenuhi undangan pada hari H.
Sampai disini, masih bisa dipahami. Meski secara sepintas saja kita tahu ada kasta diantara dua jenis 'undangan' itu. Tapi, masyarakat disana tak merasa keberatan dengan perlakuan yang diskriminatif itu. Semuanya dijalani sebagai kelaziman semata, dan memang begitulah yang harus dijalani, sesuai tradisi sejak nenek moyang. Selesai.
Ada yang membuatku terkaget-kaget. Ketika ibu mertuaku bercerita bahwa berkat itu ada 3 macam. Maksudnya?
Begini. Bila anda menerima berkat dalam sekotak nasi dus, maka anda harus memberi amplop kepada si empunya hajat dengan ketentuan, jumlah uang dalam amplopnya : sekian. Tapi bila hantaran itu diberikan dalam setumpuk rantang (biasanya 5 susun), maka amplopnya harus lebih besar : antara sekian dan sekian. Dan bila hantaran itu dalam sebuah dus mie instan, yang sudah pasti jumlahnya lauknya banyak sekali, maka amplop yang harus diberikan kepada si empunya hajat tentu saja harus lebih besar lagi : sekian!
Amplop itu diberikan sebelum hari H, bila anda tidak ingin malu.
Masya Allah ...
Lepas dari kelaziman yang sudah demikian mengurat mengakar di sebuah tatanan masyarakat desa, saya takjub dengan kekukuhan mereka dalam menjaga adat. Adat yang, menurutku, benar-benar mengkotak-kotakkan manusia dalam kardus yang tak sepatutnya diadakan. Ketika aku sampaikan pendapatku, mereka (ibu mertua dan adik ipar) hanya tersenyum pasrah, yaa memang begini keadaannya.
Hajatan sejatinya adalah ungkapan kesyukuran. Dan itu harusnya tak dinodai dengan sistem seperti jual beli.
Mungkin memang benar, ada warisan penjajah yang hingga saat ini masih melilit kuat di benak dan keseharian masyarakat Indonesia, terutama di pelosok. Ini hanya di satu tempat, satu suku, dari sekian banyak tempat dan suku di Indonesia. Ada banyak tradisi lagi di belahan bumi Indonesia lainnya.
Ada yang membanggakan, melegakan, tak sedikit pula yang membuat kita menghela nafas berat.
Seperti kasta dalam berkat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...