Kamis, 12 November 2009

Selembar Mata Uang Yang Kian Langka




Berpuluh tahun lalu, saat masih memakai kaus lengan pendek, rambut dihias jepit dan berlarian bebas mengejar angin dan kupu-kupu, bila di tengah jalan menemukan sekeping koin rupiah, maka satu RT kami ubek sekedar menemukan si pemilik sejati. Bilapun tak ketemu, koin itu berakhir di "kencleng" masjid.

Masih berpuluh tahun lalu, ketika seorang bendahara mendapati kelebihan uang, sedangkan buku tak mengabarkan penyetornya, maka semalaman ia sibuk mengkalkulasi hingga klop semua ketimpangan neraca.

Atau, dalam keadaan dan peristiwa yang berbeda, dulu, saat tengah berhimpun mendengar petuah ustadz, saat seutas suara tak diundang karena bergenre "aib" hadir memecah keheningan lengkap dengan "bau"nya, maka si sumber suara tak kuasa berkelit. Raut muka dan gestur tubuhnya tak kuasa berbohong.

Ketiga peristiwa itu hanyalah gambaran sederhana, betapa kejujuran laksana tiara yang diletakkan pada posisi luhur. Ia, dalam keadaan apapun, harus ditempatkan pada posisi terhormat, terdepan, nomor satu, sebab ia identik dengan harga diri. Jika seseorang tak mampu berperilaku jujur, maka muka menghitam tercoreng aib sendiri.

Itu dulu.

Ketika beranjak besar, saya mulai bertemu gradasi warna pada lembaran mata uang bernama kejujuran, yang tak lagi sama dengan yang saya genggam sedari dulu. Mungkinkah ia mulai berevolusi? Saya mulai dihadapkan pada beberapa kejadian yang membuat saya terpana. Kok, ada ya, orang yang berkata hijau padahal merah, atau bilang kuning padahal biru, dengan wajah tanpa dosa? Padahal ada beberapa orang yang tahu kebenarannya. Masihkah mata uang itu berlaku?

Lalu sekarang, silang sengketa terpampang jelas di layar televisi, di surat kabar, di majalah, di internet, dimana-mana. Saya mulai kehilangan arah. Mata uang itu mulai berkeping, berserakan tercerai berai. Dimana harus kupungut kembali agar ia kembali utuh sebagai sebuah nilai?

Kata mutiara yang sangat digemari oleh remaja masa lalu ketika menulis identitas di buku kenangan, salah satunya berbunyi "Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana". Ia begitu bermakna, sebab memberi kemuliaan bagi sebuah nilai, hingga dimanapun dan kapanpun, mata uang itu akan diakui. Dan dulu, mata uang itu tersediaa dalam jumlah yang melimpah.

Sekarang?
Aaah, saya masih berharap, kita masih dapat mewariskan lembaran atau kepingan mata uang bernama kejujuran itu kepada anak-anak masa depan, agar bangsa ini tak lagi mempertontonkanan sandiwara memalukan, dengan wajah "tak jengah" sedikitpun.

8 komentar:

  1. "Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana"

    -------------------------------------
    yah sy jg berdoa... semoga masih buanyak..
    dan sy yakin masih buanyak... kok.....
    mreka hanya tertimpa lumpur... dan kilaunya tertutupi...

    BalasHapus
  2. Yups,kejujuran itu memang mata uang yg berlaku dimana-mana. Yakin saja mbak,bahwa masih banyak orang jujur. Hanya kadang mereka tidak terekspos saja..

    BalasHapus
  3. @ NanLimo : semoga kilau itu kembali bersinar ya..
    @ ajeng : benar mbak, Insya Allah. Dan barisan itu harus ada di garda depan. Harus!!

    BalasHapus
  4. Kejujuran ibarat mata uang yg berlaku dimana -mana,benar mba..kejujuran itu senilai mata uang yang begitu berharga.

    BalasHapus
  5. Masih banyak orang jujur di sekitar kita. Tapi media massa lebih sering mengekspos orang yang tidak jujur daripada mengekspos orang jujur.

    BalasHapus
  6. Belum langka, Mbak. Percayalah.

    BalasHapus
  7. Dunia semakin kompleks.. Banyak terjadi pembiasan dimana mana.,

    BalasHapus
  8. bener banget bu... kejujuran modal utama dalam menjalani hidup.. semoga kejujuran selalu terjaga dalam diri ini...amiin

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...