Selasa, 30 Oktober 2012

Diam untuk Berlari

Akhir-akhir ini Bu Retno merasakan badannya letih, lemah, lesu, semengatnya kendor. Hidupnya mulai terasa monoton dan membosankan. Padahal selain sebagai ibu rumah tangga, iapun bekerja kantoran. Apakah usianya yang hampir mendekati kepala 5 itu penyebabnya? Semula ia yakin, itulah sebabnya. Benar kata orang bahwa ketika usia bertambah maka badan akan mulai terasa mudah lelah. Tapi setelah hampir satu bulan, Bu Retno mulai meragukan kesimpulannya sendiri. Bagaimana dengan istilah “a life begin at forty”? Bukankah kalimat itu menunjukkan betapa bergairahnya hidup di usia empat puluhan?  Ada yang salah dengan dirinya. Ada yang perlu ditinjau ulang dari kegiatan hariannya. Ada yang perlu direvisi dari rencana hidupnya. Halah, rencana? Bu Retno mulai menelisik catatan otaknya dalam menyusun rencana.

Manusia butuh rencana untuk melakukan sesuatu. Apakah itu satu jam ke depan, nanti siang, esok hari, seminggu kemudian, bulan depan, tahun depan atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Perencanaan itu berbeda bagi setiap individu, baik berbeda dalam bentuknya maupun dalam teknis pemikirannya. Sebab semua pasti sesuai dengan kapasitas plus pengetahuannya. Tapi apapun itu, sederhana atau rumit, sistematis atau pabaliut, toh semua orang punya rencana untuk hidupnya. Adakah orang yang tidak punya rencana. Seringkali orang bilang : “aku gak punya rencana”, bahkan tidak dia sadari sebenarnya ia tengah merencanakan sesuatu. Spontanitas, adalah rencana yang datang tiba-tiba. Usai terpikirkan, tahap demi tahap penyelesaian dari bentuk kerja spontan itu akan mulai terurai. Rencana spontan. Istilah aneh … Tapi begitulah, sesederhana apapun, kerja butuh rencana. Rencana adalah bahasa yang lebih teknis dari cita-cita.

Ketika sebuah rencana dapat terlaksana. selesai. Selesaikah hidup?
Kita butuh rencana lain untuk tetap dinamis. Rencana dibutuhkan untuk menjaga eksistensi kemanusiaan kita, bahwa kita ada dan manfaat.

Bu Retno mulai bercermin ulang. Kegiatan hariannya tak kurang. Kerja kantor, urusan rumah (nyuci, nyetrika, ngepel, masak plus beres-beres rumah. Ia tidak punya pembantu) menemani anak-anak belajar, mengisi kajian di masjid dan kegiatan PKK di komplek rumahnya. Itu yang disebut monoton? Bu Retno sadar, kegiatannya penuh. Tapi, ia merasa mulai jenuh. Artinya dia harus membuat rencana baru. Sebuah loncatan besar? Apa?

Di tangannya sebatang pencil dan sebuah buku kecil. Di benaknya sependar bintang … kemana akan diterbangkan?

Mimpi, cita-cita, atau rencana memang tak pernah kenal batas usia. Sejenak saja ia diam, untuk mengambil ancang-ancang berlari, bersama anak-anaknya.

2 komentar:

  1. Ayoooo.. kejar cita-cita Bu Retno. Kita hidup cuma sekali loh. :)

    BalasHapus
  2. umur bukan penghalang untuk maju...ayo bu retno semangat..

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...