Sabtu, 29 Maret 2014

Perjalanan Menuju-Nya

Menonton serial Upin Ipin di televisi. Anak kembar itu tengah berjalan menuju surau untuk mengaji bersama kawan-kawannya. Melempar ingatan saya pada masa lalu ketika bergegas menuju masjid saat masih kanak-anak. Seruuu ... 

Mengaji ba'da magrib hingga mnejelang Isya, saat itu tak lain adalah keseruan, tidak merasa bahwa itu sebuah kewajiban yang memberatkan. Bagaimana tidak. Waktu itu pelajaran mengaji sagat menyenangkan. Cara yang diberikan ustadznya, kebetulan beliau paman saya, sangat menarik. Saya memanggilnya Mang Tata. 

Mang Tata, (dalam bahasa Sunda, Mang atau Mamang adalah panggilan untuk paman atau pakle) bukan hanya mengajar mengaji, beliau juga mendidik kami untuk mengerti apa yang kita baca. Tapi caranya gak bikin stress. Beliau ingin kami semua paham bacaan sholat serta arti surat-surat pendek yang kita baca saat mendirikan sholat. Tujuannya agar ketika sholat bukan hanya sekedar melakukan ritualnya semata tetapi juga memahami apa yang kita baca. 


Saat itu saya masih kelas 5 SD. Biasanya usai sholat Magrib kami melingkar di sudut masjid dengan sebuah Alquran di tangan masing-masing. Lingkaran ada tiga sesuai dengan kelompok tingkatan. Tingkatannya tidak berdasarkan usia atau pendidikan, melainkan berdasarkan keterampilan dan kemampuan mengaji. Cara yang diajarkan kurang lebih begini ... 

Saat belajar surat An-Naas, ayat pertama berbunyi : 

 قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ 

Mang Tata tidak mengajarkan artinya satu ayat, melainkan satu kata. Seperti ini :
Mang Tata                       : Qul, artinya "katakanlah". Ayo ucapkan : Qul? 
Kami menjawab serentak : Katakanlaaahh .... 
Mang Tata                    : Setiap kalian nanti bertemu dengan kata "QUL" dalam Alquran, di surat apapun, artinya adalah "Katakanlah" Paham? 
Kami                               : Paham ... 
Mang Tata                       : QUL ...? 
Kami                               : Katakanlah 
Mang Tata                       : Qul 
Kami                               : Katakanlah 
Mang Tata                       : A'uudzu, aku berlindung. A'uudzu? 
Kami                               : Aku berlinduuung ... 
Mang Tata                     : Setiap kalian menemukan kata "a'uudzu" dimanapun artinya adalah aku berlindung. Jadi "Qul a'uudzu"?? 
Kami (berfikir sejenak lalu menjawab rebutan) : Katakanlah aku berlindung ... 
Kami tertawa-tawa bila salah seorang salah mengartikan.
Mang Tata                       : Bi, artinya dengan. Bi? 
Kami                               : Dengan 
Mang Tata                       : Robbi, Tuhan. Robbi?? 
Kami                               : Tuhaaan 
Mang Tata                       : An-Naas Manusia. An-Naas??
Kami                               : Manusia
Mang Tata                       : Qul a'uudzu bi robbinnaas?
Kami (brefikir menyambung-nyambungkan kalimat) : Katakanlah ... aku berlindung dengan Tuhan Manusia? Jawaban kami kadang semu bertanya  karena tidak yakin.
Mang Tata                       : Ya ... di saat lain kata "Bi" bisa diartikan menjadi "kepada". 

Demikian seterusnya hingga ke ayat kedua dan selanjutnya. Mang Tata mengajarkan setiap kata dan kami melanjutkan serta mengikutinya.

Metode pengajaran seperti itu membuat kami mudah menyerap materi yang diajarkan. Tanpa sengaja kami bukan hanya belajar mengaji melainkan juga belajar bahasa Alquran. Bila ayatnya pendek, semalam kami bisa menghafal 1 surat. Jangan salah, kelak bila di surat pendek lain kami menemukan kata yang telah diajarkan, Mang Tata tak akan pernah mau memberi tahu artinya. Kami 'dipaksa' untuk mengingat. Hal tersebut membuat kami sangat menjaga hafalan. Jangan bilang hal tersebut memberatkan. Sungguh, masa mengaji di magrib dengan Mang Tata adalah masa paling indah dan menyenangkan dalam belajar. Hingga berpuluh tahun kemudian saya masih mengingatnya seolah hal itu baru terjadi kemarin saja.

Berbulan kemudian kami semua sudah hafal surat-surat pendek berikut artinya. Sudah banyak perbendaharaan kata dalam bahasa Alquran yang kami tahu, sehingga bila menemukan kata yang sama di surat apapun dalam Alquran, insya Allah kami tahu. Pelajaran mengaji itu diselingi dengan pelajaran bacaan sholat plus artinya. Sehingga pada waktu yang sama, kami telah siap untuk diuji praktek sholat dan mengaji berikut artinya.

Saya ingat ketika Mang Tata mengatakan dengan mata bersinar bahwa kami telah siap untuk 'dilepas'. Besok adalah hari pengukuhan. Sebelum mendirikan sholat, gerakan-bacaan-artinya, jasmani-ruhani, mulai dpraktekkan, terlebih dahulu kami dibimbing untuk menyertakan hati, dengan memahami arti yang diucapkan, seiring dengan gerakan dan bacaan sholat. Bacaan sholat sejakl Takbir hingga salam sudah khatam. Surat-surat pendek sudah 15 surat sejak An-Naas hingga Al-Adiyat. 

Berdebar kami memulai sholat. Mang Tata imamnya. Takbir dilangitkan, kami mengikuti dengan bisikan Allahu Akbar, hati kami menyeru Allah Maha Besar. Sungguh, itu sholat kami yang panjang. 
Praktek sholat pertama kami kala itu adalah sholat Isya, 4 rakaat, berjalan hingga 30 menit. Sungguh tak terasa. Kami hanyut dalam bacaan, tak menyediakan ruang untuk kesalahan.

Tahukah, itu terjadi tahun 1979, saya masih kelas 5 SD. Sungguh Allah demikian besar Rahman RahimNya. Diberikannya kami semua kebahagiaan belajar dan keindahan mengenalNya.

Barangkali mungkin kala itu kami hanya ingin nilai bagus dari Mang Tata. Kami ingin dipuji bahwa kami berhasil memenuhi harapannya. Bahwa kami bisa menjawab tantangannya. Namun, segala pernik masa kecil itu adalah percik yang memantik ruhani kami, khususnya ruhani saya, untuk kemudian mencari dan menyelesaikan pelajaran yang belum tuntas diajarkan. Mang Tata tak pernah melanjutkan ke surat lainnya, ia ingin kami meneruskan sendiri perjalanan.

Berpuluh tahun kemudian, kami sudah menua. Saya yakin pengalaman itu tetap membekas sangat kuat dalam dada kami, menjadi percik api yang terus menyala menyambar segala cahaya yang disediakan Allah dengan sangat melimpah. Cahaya kebenaran. Cahaya itu menuntun hati dan langkah keseharian agar tetap berada dalam jalan Cinta.

Lalu saya bertemu dengan komunitas sholat khusyu, mengenal pak Abu Sangkan, mendapat bimbingan dari beliau, lalu berguru kepada Allah. Semakin tersadar betapa sholat saya masihlah jauh dari sempurna, bukankah kesempurnaan hanyalah milik Allah? Jangankan satu waktu sholat, bahkan baru satu rakaat pun khusyu itu demikian mahal untuk ditebus. Ruhani saya masih harus terus dibeningkan, agar tak lagi terhalang hijab, hingga mudah menuju Allah, dalam setiap sholat. Tapi pengajaran terus berlanjut. Allah tak pernah berhenti menanti hambaNya datang dan menangis, menyadari kesalahannya, memohon ampunanNya. Mohon dijaga dan dinaungi hingga kelak di sebuah alam yang tak ada naungan selain naunganNya.

Lalu saya belajar metoda struktur Alquran. Melalui metoda ini, ayat Alquran menjadi sesuatu yang lebih membumi,  benar-benar menyertai keseharian saya, sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Alquran itu adalah ayat-ayat Allah yang menjalankan sistemnya dengan sempurna ketika ia dibaca. Menjadi sebuah petunjuk serta syifa bagi sesiapa yang membacanya. Satu huruf satu kebaikan.  Mengaji satu juz dalam sekali duduk tak lagi menjadi sesuatu yang berat. Ia telah menjadi sebuah kebutuhan. Kebaikan demi kebaikan yang oleh orang lain kerap disebut dengan keajaiban, benar-benar saya rasakan. Menyebutkannya sungguh saya tak mampu, sebab sulit menerjemahkan pengalaman spiritual dalam bentuk bahasa verbal. Saya hanya bisa menyebutnya dengan kata "nikmat". Betapa Allah telah demikian sempurna memberikan kenikmatan hidup kepada setiap manusia, siapapun itu. Dan hanya orang yang beruntung yang dapat merasakan kenikmatan itu. "Maka nikmat Tuhan yang mana lagikah yang engkau dustakan?" (QS Ar-Rahman 13).

Bersentuhan dengan sholat dan Alquran adalah nikmat terbesar yang Allah berikan ...
Sungguh, harapan saya adalah Allah tak mengambil nikmat itu. Jangan ya Allah. Bila Engkau ambil, kepada siapa lagi saya berharap??

Dan bila hari ini saya sampai di titik ini, semuanya bermula dari sebuah pembelajaran mengaji di sebuah masjid di masa lalu, bersama teman-teman, bersama paman saya, Mang Tata Sutayuga. Jadi, bilapun ada setitik kebaikan dalam perjalanan ini di sana ada seribu kebaikan yang ditanamkan Mang Tata, guru saya.

Semoga Allah terus membimbing, karena semuanya tak lepas dari Rahman Rahim Allah swt semata ...




16 komentar:

  1. Mak, baca postingan ini terharu... Aku jadi terlempar pada ingatan masa kecilku juga, yang bertabur acara mengaji... Kenangan indah, & penuh inspirasi & ilmu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kenangan masa kecil selalu indah untuk dikenang ya, mbak

      Hapus
  2. jadi iri, mak.. saya masih sering bolos dari jadwal ngaji yang dibikin sendiri..
    semoga kita bisa istiqomah ya, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga masih terus belajar, mak Damae, karena hidup memang sebuah proses untuk belajar, kan. Aaamiiin ... kita saling doakan ya

      Hapus
  3. Semoga Nikmat Islam ini selalu bersama kita ya mbak...Amiin Allahumma Amiiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah ya mujibassailiin ... terima kasih sudah mampir, mbak Irowati

      Hapus
  4. Memang berbeda jaman dulu dan sekarang, dulu cenderung penuh keilkhklasan pengajarnya, makanya sangat maksimal dam membekas di hati, kalau sekarang lebih banyak komersialisasi, kasian generasi anak kita, taunya : asal bisa

    Dan kewajiban kita sebagai ortu ya mak membuatnya memahami sampai hati :D

    BalasHapus
  5. betul, mak Icoel, kita harus banyak belajar tentang keikhlasan kepada para guru dan orangtua kita dulu, agar anak2 menerima pengasuhan dan pembelajaran dengan benar dan menyenangkan dan maksimal
    sesuai harapan, sampai ke hati.
    Terimakasih apresiasinya, mak

    BalasHapus
  6. Suka baca ttg Mang Tatang, beliau benar2 pendidik ya Mak.
    Pengalamannya menarik Mak, moga kenikmatan itu terus dirasakan ya :)
    Waah saya belum buat utk GA ini ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe ... bukan Mang Tatang, mak Niar, tapi Mang Tata. Betul, beliau guru saya. Aamiin, makasih doanya, ya.
      Ayo atuh segera ikutan, mak, mumpung masih ada waktu

      Hapus
  7. teh aniii lama deh saya nggak kesini hehe
    tapi saya nggak lupa teh
    adem banget baca postingnya seperti biasa :)

    BalasHapus
  8. di blog teh ani, blog saya apdet 4bulan lalu... saya pikir perlu di update itu linknya teh ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah ... begitu, ya? Oke nanti saya update lagi, dik Anyin

      Hapus
  9. Alhamdulillah mba. Indah bila agama ini membumi, nggak hanya sekadar ritual saja tanpa paham makna. Terima kasih telah berbagi, salam kenal :)

    *mhn maaf br sempat meninggalkan jejak

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...