Senin, 12 Mei 2014

Sang Patriot : Saat Sejarah Melahirkan Spirit Pahlawan (Sebuah Review)

sumber: http://dialogikabook.wordpress.com/2014/03/28/

Judul : Sang Patriot : Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penyunting : Agus Hadiyono
Penerbit : Inti Dinamika Publisher, Jakarta
Cetakan : 1, Februari 2014
Tebal : xii,  266 hlm
ISBN : 978-602-14969-0-9


Ini kisah tentang perjuangan dan keteguhan, kesetiaan dan pengkhianatan, cinta dan pengorbanan,  Pada tanah air, pada keluarga, pada kebenaran, pada sebuah keyakinan. Diceritakan dengan sepenuh hati oleh penulisnya, Irma Devita, sebagai bentuk pemenuhan janji masa kecilnya kepada sang nenek, istri Sang Patriot.  Cinta, pengabdian, rasa kagum serta rasa hormat kepada kakek dan neneknya itulah kemudian yang melahirkan buku ini. Sebuah catatan sejarah yang tak hanya menyajikan data, sederet angka dan tahun, serta nama-nama yang tak bergerak. Membaca buku ini, kita diajak untuk menelusuri lorong waktu, menyaksikan sebuah perjalanan penting Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.



Sebuah perjalanan yang penuh dengan warna-warni rasa dan mengaduk emosi. Senang, bahagia, galau, marah, membakar semangat, ngeri, pilu, tegang, sedih, haru, beradu dengan kesadaran betapa semua itu pernah terjadi nyata di masa lalu. Menumbuhkan rasa hormat kepada mereka yang telah gugur dalam membela harga diri bangsa, lalu menyuntikkan spirit untuk menggenggam kelanjutan sejarah itu hari ini.

Sejak kalimat pertama, penulis telah memaku pembacanya dengan cerdas. Penggambaran sesosok jasad yang diletakkan di pelataran mushola serta kilas balik yang menyertainya, benar-benar menggedor-gedor dada pembaca untuk terus mengikuti alur yang dibuat penulis.  

Adalah Mochammad Sroedji, pemuda tampan yang lahir dari kalangan rakyat jelata, keluaga pedagang asal Bangkalan Madura, yang memiliki mimpi untuk sekolah setinggi mungkin dan menjadi tentara. Meski pada zaman itu kalangan rakyat jelata hanya bisa bersekolah di Ongko Loro, tapi berkat bantuan pamannya yang seorang priyayi, Sroedji yang cerdas dapat diterima di HIS, sekolah kelas I bentukan Belanda yang diperuntukkan bagi kalangan ningrat. Berkat ketekunannya Sroedji dapat menyelesaikan sekolah di HIS dan melanjutkan pendidikan di Ambachtsleergang yaitu sekolah kejuruan pertukangan atau sekolah teknik.

Melalui tokoh Hasan dan Amni, yakni kedua orangtua Sroedji, yang membesarkan Sroedji bersaudara dalam atmosfer agama yang kental, jadilah Sroedji seorang yang santun dan memiliki karakter positif yang kelak mengantarkannya menjadi seseorang yang disegani lawan dan dicintai kawan sejawat.

Sroedji berjodoh dengan Rukmini yang juga cerdas sekaligus keras hati, putri seorang guru OSVIA, Mas Tajib Nitisasmito yang juga berasal dari Bangkalan.  Sebenarnya Rukmini berkeinginan menjadi ahli hukum wanita (cita-cita yang tidak mungkin saat itu), tapi demi memenuhi keinginan ayahnya ia rela mengubur mimpinya dan bersekolah di sekolah keputrian Van de Venter di Keputren Mangkunegaran Solo. Latar belakangnya tersebut kelak akan membantu dirinya dalam menghadapi masa-masa sulit di masa perang.

Pasangan muda itu kemudian tinggal di Jember, kota di mana Sroedji bertugas sebagai Mantri Malaria di Rumah Sakit Umum Kreongan. Kurang lebih 4 tahun kemudian, saat anak kedua baru saja lahir, Sroedji mendapat kesempatan untuk menyalurkan gejolak batinnya sejak lama, menjadi tentara. Dari koran Djawa Baroe edisi 3 Oktober 1943 didapat informasi perekrutan PETA. Saat itulah Rukmini istrinya memberi dukungan penuh bagi keinginan suami tercinta.

"...jika menjadi tentara adalah panggilan jiwamu sejak dulu, penuhilah, Pak. Seseorang akan berhasil jika melakukan pekerjaan sesuai hati nuraninya. Berangkatlah, Pak. Aku rela kau jalani kehidupan tentara. Enyahkan penjajah dari bumi pertiwi," dukung Rukmini (hal. 48)



---
Lepas dari didikan militer Jepang di Bogor sebagai seorang perwira menengah, Sroedji  kembali ke Jember. Tugasnya membentuk Daidan, batalion infanteri dan merekrut rakyat Jember menjadi tentara PETA. Jepang punya target bahwa lulusan PETA akan dijadikan benteng pertahanan di Pulau Jawa.

Setelah mendengar penjelasan serta rincian tugas yang dikisahkan suaminya, Rukmini dengan cerdas menangkap maksud tersembunyi Jepang melalui cara ini. Jepang dengan taktiknya membuat keadaan agar para perwira didikan mereka tidak menjadi ancaman di kemudian hari. Jika ada salah satu yang memberontak, maka dapat dilokalisir dan ditangani oleh Jepang (hal 64-65). Insting Rukmini sangat tajam, sehingga tak jarang Sroedji mendiskusikan suatu masalah dengan istrinya itu.

Buku ini dengan runut menceritakan awal pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), setelah PETA dibubarkan oleh Presiden Ir. Soekarno. Bersama para perwira lain, Mochammad Sroedji memelopoi pembentukan BKR Resimen II di Jember. Pada saat itulah anggota BKR sepakat untuk mengganti kepangkatan mereka yang semula terdiri dari daidanchoo, chuudancho, dan shoodanchoo serta budanchoo, menjadi Kolonel, Mayor, Kapten, Letnan Satu dan Letnan Dua. Sroedji, yang kala itu berpangkat Mayor diserahi tugas memimpin Batalion Alap-alap.

Mendengar nama Batalion Alap-alap, saya merinding. Namanya mengesankan kekuatan yang tumbuh dari sesuatu yang bergelombang, tak nampak namun datang tak terduga dengan dahsyat. Kesan itu saya peroleh ketika penulis mengisahkan penyerangan tengah malam di kali Brantas,  di tengah perang di Surabaya, ketika Inggris dengan dukungan tentara sekutu menggempur kota hampir satu bulan lamanya. Jauh dari perkiraan angkuh mereka yang memperkirakan mampu menduduki kota selama 3 hari saja. Di antara waktu yang terkenal dengan peperangan 10 Nopember, tersimpan banyak kisah heroik yang luput dari bayangan kita, tentang keberanian pasukan republik. Ada banyak kisah. Di antaranya kisah ini.

Tengah malam itu, saya seperti diajak ke kali Brantas untuk menyaksikan pasukan Batalion Alap-alap beraksi. Nyata dan dekat.

Ini memang buku sejarah, tetapi dengan bahasa yang lugas dan pilihan kata yang pas, rentetan waktu serta tanggal dan istilah yang ada, menjadikannya tidak lelah untuk dibaca. Ketika  kemarahan serta perasaan terhina oleh perlakuan Jepang yang tak manusiawi. Ketika Sroedji dilatih dengan sangat keras untuk menjadi seorang tentara bentukan Jepang, PETA. Beberapa peristiwa penting manuver Jepang dengan propaganda nya untuk merekrut pemuda dalam pelatihan lalu memanfaatkan secara sepihak untuk kepentingan politik mereka. Serta istilah militer serta strata kepangkatan yang tak mudah dipahami itu. Nyatanya tak menjadikan buku ini jadi membosankan. 

Sejatinya pelajaran sejarah diberikan agar kita bisa memetik nilai-nilai juang serta semangat berkorban. Melalui buku ini, nilai itu dapat kita dapatkan. Bukan hanya sekedar mengenal sosoknya, melainkan juga memahami mimpinya, semangatnya, serta cita-cita besarnya. Sehingga kita yang membaca dapat memetik dan memungut spirit itu.

"Kita harus menjadi perwira yang tangguh, Mur ... Harus! Demi bangsa kita, demi anak cucu kita. Mereka tidak boleh mengalami masa kegelapan seperti yang kita alami."
 "Perang terbesar bukanlah melawan musuh, Mur. Perang paling besar adalah perang melawan diri kita sendiri." (hal 57)
---

Haru biru serta ketegangan muncul di beberapa peristiwa, seperti ketika serdadu Jepang dengan buasnya menyatroni rumah-rumah penduduk, tak terkecuali rumah Rukmini yang kala itu tengah ditinggal Sroedji untuk bergerilya. Serdadu Jepang 'memilih' perempuan-perempuan muda untuk dijadikan pemuas nafsu mereka dan dijadikan jugun ianfu.

Lalu saat tengah malam, Rukmini yang tengah hamil tua harus mengungsi dan bersembunyi dari kejaran serdadu KNIL. Kelelahan berjalan menuruni lembah dan bukit yang dijalani oleh seorang perermpuan yang hamil tua, dalam tekanan rasa takut, duhai ... betapa berat perjalanan seorang pejuang. Bila bukan karena tekad sekuat baja serta kesadaran akan kewajiban membesarkan anak-anak yang masih kecil dan besarnya cinta seorang ibu serta taggung jawab besar akan tugasnya, barangkali kesusahan itu akan membuatnya menyerah. Tetapi tidak bagi Rukmini. Ia berhasil melewati perjalanan itu.

Kengerian lain muncul ketika penulis menggambarkan kekejaman penjajah di gerbong maut. Ketika berpuluh orang dijejalkan pada sebuah gerbong beratapkan seng tanpa lubang ventilasi setitikpun, di tengah hari bolong. Detil itu sangat kuat mematri kengerian, bahkan saya tak sanggup membayangkannya. Ia seperti slide terpampang di depan mata.

Duhai, betapa keringat, darah dan air mata tak akan pernah dapat terbayarkan selain gempitanya hati meneriakkan kata "merdeka".

Kalau sudah begitu, tak malukah kita bila tak mampu menerima pesan perjuangan? Dari seseorang di masa lalu? Demi meneruskan cita-cita besar menegakkan harga diri bangsa?

sumber : donnyoyot.blogspot.com


---

Andai ada Peta
Saya tak banyak menemukan salah ketik di buku ini, selain penulisan beberapa bahasa Jawa dan bahasa Jepang yang tidak disertai terjemahan. Lalu, beberapa kali saya ingin melihat peta ketika membaca perjalanan mengungsi Rukmini saat hamil tua, juga ketika pasukan Sroedji mempertahankan kota di Surabaya. Kalau saja ada peta, akan lebih mudah bagi pembaca untuk mengikuti alur.

Jadi tidak sabar untuk membaca versi komiknya.

---

Saya ingin ada banyak buku sejarah yang mengenalkan sosok pahlawan dengan penggambaran seperti Sang Patriot ini. Saya yakin ada banyak patriot lain di setiap pelosoknya, di sepanjang sejarah pergerakan serta pergolakan meraih serta mempertahankan kemerdekaan. 

Buku ini pelopornya. Layak direkomendasikan bagi setiap perpustakaan sekolah di setiap jenjang pendidikan.


http://letkolmochsroedji.org/



9 komentar:

  1. Kebayang ya teh, lagi hamil tua harus ngungsi jarak jauh masuk keluar hutan jalan kaki, bawa tiga anak masih kecil-kecil pula. Kebayang sama diri sendiri dan anak2 kalo samai ngalamin spt itu teh, :(

    Teh ANi bagus sekali reviewnya, semoga jadi salah satu yg terbaik ya teh aamiin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. membaca kisah perjuangan di buku ini memang memberi banyak inspirasi dan menyuntik semangat, ya, neng.
      Aih jadi malu, bagusan tulisan neng Winny atuh. Nuhun ya

      Hapus
  2. Sukses utk lombanya ya mbak...
    Salam

    BalasHapus
  3. Membaca novel Sang Patriot membuatku makin mensyukuri kemerdekaan yang telah diperjuangkan dg darah, air mata dan nyawa para pejuang... semoga aku bisa mengisi kemerdekaan itu dengan sebaik-baiknya.Reviewnya mantap Teh Ani... semoga menang yaa

    BalasHapus
  4. good luck ya mbak untuk kontes reviewnya

    BalasHapus
  5. Semoga dapet gejetnya mak

    BalasHapus
  6. Terima kasih atas partisipasinya ya Mbak Ani Rostiani :)

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...