Otak saya tak berfikir lama. Itu pasti sebuah buku. Tapi buku apa? atau tepatnya buku yang mana? Kulihat pengirimnya. Bunda Abonk. Nama yang asing. Siapa, ya? Lalu tiba-tiba saja terlintas "Rumah Putih" begitu saja. Saya terlonjak, apakah ini buku itu?
Sudah lama saya menunggu kiriman antologi puisi yang ditulis seorang teman di seberang pulau sana. Namanya Ivan Kavalera. Seorang penyiar, penyair sekaligus jurnalis di kota Bulukumba. Saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. Baik yang ada di blog maupun catatan ringan yang dia tulis di akun facebooknya.
Nah, di akhir tahun 2013, dari facebook juga, saya tahu bahwa sebuah karya telah lahir. Berupa antologi puisi yang ditulis oleh sebuah keluarga yang tinggal serumah, judulnya "Rumah Putih : Antologi Puisi Serumah". Keluarga yang tinggal serumah itu adalah keluarga Ivan Kavalera.
Sebagai penikmat, tentu saja saya penasaran ingin segera membaca karyanya. Apalagi ini ditulis oleh orang-orang terdekatnya. Aiih... penasaran deh.
Maka ketika buku itu tiba, terbayang kan bagaimana senangnya saya? Lupa deh untuk segera mencari tahu siapa itu Bunda Abonk hehe ... (kelak saya tahu bahwa itu sebutan buat Israwati Samad, istri Ivan Kavalera. Di buku, ditulisnya Bunda Ibonk, tapi tulisan tangan yang tertera di kertas bingkisan adalah Bunda Abonk, entah mana yang benar). Feeling saya sih, yang benar Bunda Ibonk. Tapi kok tulisan tangannya Abonk, ya? (*yah sudahlah, gitu aja kok repot)
Buku itu langsung di'pinjam' Pak Jajang. Kayaknya dari tadi dia penasaran sekali dengan isi bingkisan itu hehe ... Beliau adalah rekan guru yang penuh bakat. Selain pengajar Bahasa Inggris, dulu ia mantan finalis Bintang Radio (audisi menyanyi zaman dulu itu, tuuh), pemusik, pencipta lagu dan piawai mengaji Al-Quran.
Setelah dibuka, entah ada angin dari mana (angin yaaa ... dari selatan, atau dari mana saja bisa) beliau langsung membaca sebuah puisi
"aku ingin menjadi lelaki kecil lagi. menangis kembali. tapi damai. cukuplah sungai-sungai kebijaksanaan mengaliri waktu yang tak sepeuhnya sampai."
gayanya mirip Taufik Ismail. Aiiih ... si bapa.
Kami yang tengah berada di perpustakaan saat itu tersenyum-senyum saja melihatnya. Sesekali berkomentar usil. Lalu, datang seorang rekan guru lain. Bu Rina namanya. Beliau pengajar Bahasa Indonesia. Mendengar seseorang baca puisi, naluri pengajarnya muncul, dan langsung menyalakan alat perekam. Saya tahu, rekaman itu ia butuhkan untuk media pembelajaran di kelas. Beberapa saat lalu materi pembelajaran Bahasa Indonesia telah sampai pada musikalisasi puisi. Pas sekali dengan moment baca puisi itu. Klop!
Maka, siang itu 'Rumah Putih' kami masuki bersama-sama. Tanpa rencana, tanpa aba-aba.
Sempat terhenti karena adzan dhuhur berkumandang.
Setelahnya, saya takjub, bila Tuhan menggerakkan, sebuah buku bisa memunculkan pemantik yang tak terduga. Biasa saja barangkali bagi orang lain, tapi bagi saya, ini sungguh sesuatu yang punya makna.
Ba'da dhuhur, saya baca buku itu sendirian. Memandang pelatarannya terlebih dahulu, menatap rumah yang penghuninya pun tak tahu mengapa dinamai Rumah Putih oleh banyak orang. Mengenali penghuninya satu per satu. Mengakrabi geliat aktivitasnya yang tak jauh dari seni, percakapan dan pembelajaran. Ada suara ayat suci di sana. Setiap hari suara anak-anak mengaji tak pernah henti. Saya langsung merasa hangat. Kemudian kumasuki Rumah Putih itu, masih sendirian saja.
Lalu, entahlah, saya tertegun pada sebuah puisi : Baiklah, Besok Kita Mencicipi Revolusi.
Memang, kita adalah anak-anak zaman yang merindukan kesejatian menjadi manusia. Dari Rumah Putih yang damai dan sederhana, yang melahirkan seniman percakapan dan ribuan anak mengaji, ada tersimpan kemarahan yang tidak dibiarkan murahan. Kemarahan yang dikemas dengan keanggunan yang sudah seharusnya dimiliki manusia.
Sejatinya memang manusia diciptakan untuk sesuatu yang agung.
Kerinduan yang suci, kegelisahan yang manis, keceriaan yang terukur dan kemarahan yang terkendali, itulah yang seharusnya dijadikan pilihan. Bukan kata-kata yang digelontorkan tanpa saringan. Hidup manusia sejatinya adalah berkisar pada masalah lalu menghadapinya dengan cara yang lebih elegan ketimbang makhluk lainnya. Sebab bila kita bergerak dengan lagak yang sama, lalu apa bedanya kita dengan yang lain?
Di buku ini saya seperti sedang memandang sebuah telaga. Tenang, dengan warna-warni bunga kecil di setiap sisinya, tapi menyimpan kedalaman, gelisah dan kemarahan di dasarnya.
Seperti telaga? Ya, seperti juga manusia tenang, yang meski gelisah dan marah, ia tetap mulia dalam tuturnya.
Aiih ... ini catatan emak-emak ...
Sekarang, semakin masuk ke dalam rumah putih itu, ada seorang gadis cilik, yang menggemaskan, usianya baru enam tahun, menyalamiku sambil berkata 'Namaku Chaca' lalu dengan riang berkisah tentang 'Kebun Kakek' dan 'Bintang-bintang'. Lalu saya dikejutkan dengan kata-katanya yang sangat dewasa 'Mari bersujud kepada-Nya untuk bersyukur atas segala nikmat-Nya'.
Subhanallah, Chaca ... engkau bunga-bunga cantik di tepi telaga itu.
Masih banyak lekuk liku puisi di rumah putih ini. Saya mau masuk makin ke dalam. Mau ikut?
Saya ingin mengajak mu kesini. Dan menikmati sensasinya.
Mewakili keluarga Rumah Putih, saya mengucapkan terimakasih atas apresiasinya, mbak Ani. Salam hangat dari kami, terutama Bunda IBONK dan Cacha.
BalasHapussama-sama, terimakasih, Ivan.
HapusIni catatan spontan yang saya tulis bahkan sebelum buku itu selesai saya baca. Salam hangat kembali buat bunda Ibonk dan Chaca
Salam kenal juga mbak Ani, terima kasih sudah berkunjung ya :)
BalasHapusaih senangnya dikunjungi mama Cal-Vin. Jadi inget sushi nya hehe ...
Hapussaya bukan penikmat puisi mak ani, tetapi melihat review mak ani tentang "rumah putih" mendorong saya untuk mencoba mencicipi puisi.. selamat ya mak, mendapat surprise.. :)
BalasHapuswah, pengalaman baru dong, mak ami ... nyicip pengalaman baru itu seru lhooo. Trims yang kunjungannya, mak.
Hapussalam kenal dulu, selamat atas kiriman bukunya
BalasHapussalam kenal kembali, Joe ... trims atas kunjungannya, ya
Hapuspostingan nya bagus sekali gan
BalasHapuswah jadi penasaran sm bukunya mbak ani... :)
BalasHapusmangga, silakan bisa pesan ke Ivan Kavalera, tuuuh tamu saya yang tiba paling dulu hehe ...
HapusWaaah..., saya jadi kepengen membaca langsung Rumah Putih itu....
BalasHapusRumah Putih bisa pesan langsung ke salah atu penulisnya, mas. Itu ada tuh, klik aja, tamu saya yang paling atas, Ivan Kavalera
HapusWah Bang Ivan Kavalera!
BalasHapusBlogger yg aku kenal di awal2 ngeblog dulu Mak.
sepertinya menarik, kapan2 boleh ikutan baca ya mba :)
BalasHapussalam kenal
Assalamu'alaykum Mbak. Ini adalah kunjungan pertama saya. Sungguh orang yang bernama ivan Kavalera adalah inspirator saya dalam menekuni dunia blog. Jangan lupa kunjungan balik di aldyblue.blogspot.com dan blog pribadi saya di aldyjabir.blogspot.com
BalasHapus