Selasa, 06 Januari 2015

Kurtilas, Quo vadis?

Buku kurtilas dengan jumlah ribuan eksemplar yang siap digunakan untuk poses pembelajaran ini mau dikemanakan? Berapa banyak anggaran dikeluarkan untuk ini? 




Semenjak kurikulum 2013 yang banyak dipersoalkan itu diberlakukan, tidak secara serentak di sekolah-sekolah tanah air, saya tak banyak berkomentar. Benar, saya termasuk pelaku pendidikan, meski bukan seorang guru kelas. Dalam struktur kepegawaian saya adalah tenaga kependidikan, bertugas sebagai pustakawan, bukan tenaga pendidik, meski pada prakteknya saya banyak membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler. Oke, kita tinggalkan obrolan ini.

Sekarang di sekolah sedang 'panas' membincang (lagi) kurtilas ini. Penyebabnya adalah munculnya keputusan demi keputusan yang terasa masih prematur. Beberapa bulan lalu Mendikbud mengeluarkan SK (Nomor 179342/MPK/KR/2014) penghentian Kurtilas di beberapa sekolah. Keputusan itu saja membuat 'heboh' para guru yang notabene menjadi ujung tombak pendidikan. Pro kontra deras mengalir di hampir setiap perbincangan di sekolah maupun di lembaga-lembaga pendidikan, bahkan di seputar penerbitan buku. Untuk sekolah yang sudah memberlakukan kurtilas selama 3 semester, hal tersebut tidak menjadi kendala, sebab kurtilas tetap diberlakukan. Tapi bagi sekolah yang baru menggunakannya 1 semester saja, boleh memilih, kurtilas atau kembali ke KTSP 2006.

Perdebatan pun tak pelak muncul di hampir setiap ruang, dimana guru berbincang. Ada yang setuju kurtilas, banyak pula yang mendukung kembali ke KTSP 2006. Perdebatan yang berhenti sesaat sebelum pembagian rapot. Mau tidak mau, karena rapot harus sudah ditentukan, mau pakai format yang mana?

Namun pada akhirnya akar rumput selalu tak punya pilihan, sederas apapun penolakan atau penerimaan, keputusan 'dari atas' yang berkuasa. Toh ketika proses pembelajaran dan penilaian dilakukan, semua bisa dijalankan, meski dengan tertatih, karena belum semua guru memperoleh pelatihan. Sekolah yang baru melaksanakan kurtilas 1 semester, menjalankan kurtilas dengan guru yang 'learning by doing'. Guru harus selalu lebih cerdas dari muridnya, bukan?

Saat proses dilaksanakan mulai dirasakan bahwa kurtilas memberikan ruang  yang luas bagi guru dan murid untuk belajar dan berinteraksi. Murid diajak lebih banyak 'mengalami' dan 'melaksanakan' ketimbang  hanya 'mendengarkan'. Guru bisa lebih mengeksplore kemampuan individu setiap murid. Masalahnya, proses ideal seperti itu hanya bisa dilakukan secara optimal dalam keadaan rasio jumlah guru dan siswa yang ideal pula. Satu guru mengajar paling banyak 30 orang siswa setiap kelas, sehingga pembelajarn efektif dapat berlangsung.

Masalahnya, di lapangan, banyak sekolah yang memiliki ruang kelas yang tidak seimbang dengan jumlah murid. Satu kelas bisa menampung rata-rata 40-48 murid. Seorang guru mengajar kira-kira 5-8 kelas seminggu. Bila diambil rata-rata 45 murid x 6 kelas saja, maka 280 murid yang harus dididik. Ini bila diambil yang pertengahan, sebab banyak guru yang mengajar di lebih dari 6 kelas! Pemberian materinya barangkali bukan perihal sulit bagi guru, bahkan lebih dari itu juga banyak guru yang mampu mentransfer ilmunya. Namun beban penilaian pada kurtilas ini bersifat menyeluruh. Artinya setiap murid dinilai pada 3 aspek, yaitu nilai pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pada setiap aspek meliputi beberapa sub aspek, diantaranya nilai praktek, portofolio, dan nilai proyek (aspek keterampilan), nilai observasi pada sikap spiritual dan sosial serta nilai harian pada aspek pengetahuan, plus tambahan nilai UTS dan UAS di akhir semester. Guru harus benar-benar mampu membagi waktunya yang 2-6 jam pelajaran (beberapa mapel malah hanya 1 jam per minggu) untuk menyampaikan materi sekaligus menilai murid dengan jumlah 'gemuk'. Biasanya guru mampu mengingat murid yang istimewa saja, yakni yang cerdas atau yang sulit paham. Yang standarnya biasa alias rata-rata kerap luput dari perhatian. Bila 'hanya' soal nilai harian, UTS dan UAS pengetahuan, tidak masalah, tapi untuk penilaian menyeluruh, guru perlu waktu lebih banyak untuk berinteraksi dengan muridnya.

Kurtilas akan membuat guru memahami setiap muridnya, satu per satu. Itu sisi positifnya. Tapi, sekali lagi, bila rasio guru murid ideal. Sebab bila tidak, maka guru harus pontang-panting menjejeri target silabus, banyak yang keteteran yang pada akhirnya murid juga yang menjadi korban.

Baiklah, proses sudah dilakukan, 1 semester telah berlalu. Raport telah dibagikan dengan format kurtilas. Proses penilaian tersebut berjalan dengan banyak sekali pembelajaran bagi guru. Guru-guru sudah dengan lega mengatakan bahwa kurtilas tak se'sulit yang dibayangkan pada mulanya.  Ada banyak senyum terkembang, siap menjalani kurtilas.

Tadi pagi, berita yang membuat heboh lagi adalah, munculnya keputusan agar semester 2 kembali ke KTSP. Masya Allah ...!
Ibaratnya, baru pindah rumah, selesai beberes dan bersolek siap beraktivitas, eh harus balik lagi ke rumah lama dengan barang-barang yang sudah terlanjur masuk gudang! Sontak, guru-guru kembali mencari buku sumber ke perpustakaan. Padahal perpustakaan baru saja menyelesaikan proses penomoran buku kurtilas dan siap dibagikan kepada setiap siswa dan guru!

Buku kurtilas dengan jumlah ribuan eksemplar yang siap digunakan untuk poses pembelajaran ini mau dikemanakan? Berapa banyak anggaran dikeluarkan untuk itu?

Padahal buku KTSP yang juga ribuan baru saja beberapa bulan lalu digudangkan. Sekarang mungkin akan dikeluarkan lagi, karena banyak guru yang kembali memintanya, untuk rujukan silabus.

Saya tahu keputusan dibuat tidak serta merta, melainkan sudah dibicarakan dengan beberapa pihak terkait. Tapi apakah kami, guru dan tenaga kependidikan yang ada di daerah turut dipikirkan juga? Jangan bicara soal materi ajar yang pasti membuat pusing para guru, bicara buku sumber saja dulu. Saya terus memandangi tumpukan buku itu.

Barangkali memang bisa dipakai ... (Pasti) ... tapi ... saya bingung  mau meneruskan labeling buku-buku yang lainnya. Masih ada ribuan buku lagi yang harus diproses.

Duhai, berapa harga buku-buku ini ya?

Saya sedang rada lebay dan melow aja, barangkali, sebab kabarnya (sekali lagi kabarnya) kelak kurtilas kembali diberlakukan, jadi buku ini pasti dipakai dong ...!!
Hhhhh ...

*maaf, ini tulisan galaww


8 komentar:

  1. Masya Allah....
    Merasakan betapa rumit dan bingungnya :(

    BalasHapus
  2. Di sekolah anakku nggak mau beli buku lagi mak, jd didownload. Sekolahnya jg tetap melaksanakan kurikulum 2013. Entah hasilnya bagaimana, sering jam kosong, gurunya rapat & pelatihan melulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, mak Lusi, sekarang sedang gencar-gencarnya pelatihan kurtilas bagi guru, sebab belum semua guru memperolehnya. Begitulah ...yang namanya memulai pasti banyak yang harus 'dikorbankan'. Sayangnya, di beberapa sekolah, keputusannya nanggung.

      Hapus
  3. keputusan harusnya mengikat, sayangnya hanya sebagian saja yang terikat. Ya, para guru dan lingkungan akademik saja yang terkena keputusan. Rantai di luar itu seperti buku dan percetakan ternyata perubahannya tidak secepat lingkungan akademik.
    Hasilnya guru bingung, murid bingung maunya bagaimana.

    BalasHapus
  4. Banyak sekali ya bukunya, mudah-mudahan masih bisa berguna

    BalasHapus
  5. nggak bisa mbayangin,itu buku diapain nantinya :(

    BalasHapus
  6. assalamualaikum
    bukan teteh saja yang galau,
    pemerintah juga galau heheh
    salam sukses

    BalasHapus
  7. kayaknya memang sulit
    semoga Allah mudahkan ya teteh

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...