Sabtu, 12 Desember 2009

IBU GURU PEMBAWA ACARA


Anak bungsuku masuk sekolah !


Matanya berbinar, senyumnya mengembang terus bak delima merekah, memamerkan gigi kecilnya yang nampak melengkapi bibir tipisnya yang mungil. Manis sekali. Nampak nyata betapa bangga dan bahagia ia mengenakan seragam barunya. Sudah sejak bangun pagi tak henti bibirnya menarikan gempita hatinya yang bersenandung riang.

Usianya belum lagi genap lima tahun, namun semangatnya untuk “sekolah” sudah nampak sejak setahun lalu. Saya tidak mendaftarkannya tahun lalu, sebab dalam pandangan saya ia masih terlalu kecil untuk berpayah-payah mengikuti serangkaian “permainan” yang berjadwal. Rencananya, saya akan memasukkannya ke TK saat usianya telah menginjak lima tahun lebih (ia lahir bulan Desember). Saat usianya telah dianggap cukup siap untuk menerima “permainan” yang berjadwal. Namun rencana itu urung demi melihat betapa ia memohon hingga berurai air mata agar ibunya mengizinkan ia “sekolah”.


Akhirnya, saya mengabulkan pintanya dan menitipkannya di RA (Raudhatul Athfal) milik teman saya dengan implik-implik (pesan) bahwa anak saya hanya ingin ikut bermain.

Anakku ini (seperti anak-anak lain jaman sekarang) pandai bicara. Terkadang kalimat yang keluar dari mulut mungilnya adalah cetusan spontan yang tak terduga. Sungguh mengherankan sekaligus membuat gemas. Suatu hari, sesudah sekitar satu minggu ia sekolah.

Dia berseru :

“Bu ! Tadi pagi Ibu guru Pembawa Acaranya gak masuk.”


Karuan saja saya bingung dengan istilah “Ibu guru pembawa acara”, memangnya disana ada MCnya ? Setelah bengong sejenak sambil menahan senyum, lantas saya mencoba memperbaiki sikap dan reaksi agar ia tidak tersinggung dan merasa disepelekan.


“Oh ya ?!” jawab saya dengan wajah surprise. Nampak ia senang dengan reaksi ibunya. Dianggukkannya kepalanya yang masih terbungkus jilbab dengan semangat.


“Yang mana sih ibu guru pembawa acara itu ? Mungkin ibu guru itu tidak masuk karena sakit,” lanjut saya menahan gelak sambil mencoba menebak-nebak.


Dengan gaya yang sangat tegas dan percaya diri ia menjawab :

“Itu…….. ibu guru yang setiap hari bicara di depan. Waktu mimpin baris bicara dan berdiri di depan. Terus waktu belajar juga bicara di depan. Di depaaann ……..terus. Kalau ibu guru yang lain kan nemenin anak-anak di kursi, ya. Ibu guru ini enggak. Nah, itu namanya ibu guru pembawa acara. Yeee … ibu gak tahu ya !” serunya senang.


Saya tergelak menyadari kecerdasan berfikirnya. Sayapun tak henti takjub betapa Allah Yang Maha Halus telah memberikan sesuatu yang amat berharga di dalam otak anak sekecil itu. Saya membayangkan (seperti apa yang ditulis mbak Neno Warisman) di dalam otak berukuran kecil itu Allah swt telah menciptakan mekanisme yang demikian rumit namun berdampak amat dahsyat bagi peradaban manusia. Otak itu berkembang sejak manusia masih berupa embrio yang bersemayam dalam rahim dan mencapai puncaknya ketika ia telah menjelma sebagai anak berusia tujuh tahun. Oleh karena itu para ahli menyebut masa anak-anak sebagai Golden Age (masa emas) bagi pertumbuhan dan perkembangan. Di masa inilah saya berharap bisa mengisi benak anak-anak dengan “gizi” yang seimbang bagi tumbuh kembang dunia dan akhiratnya. (Amin)


Kini, di hadapan saya hadir seorang anak yang otaknya telah bekerja demikian keras untuk menemukan istilah atau nama bagi ibu guru yang berbeda “tugas”nya dengan ibu guru-ibu guru lainnya yang ia temui di sekolah. Dan Subhanallah, ia menemukan kata tersebut.

Lantas saya hubungkan “kata temuan”nya itu dengan keseharian kami. Bahwa temuan kata itu pasti merupakan hasil dari proses yang demikian panjang di dalam benaknya. Bukankah anak biasa meniru, berkata dan atau bahkan menyimpulkan dari apa yang biasa mereka lihat, dengar dan dilakukan orang sekitarnya setiap hari ?


Selama ini saya memang suka diminta untuk membawakan acara seperti pernikahan, syukuran dan lain-lain. Nampaknya ia berhasil menyimpulkan bahwa setiap orang yang berbicara di depan orang banyak itu namanya adalah pembawa acara. Karena di sekolah ada ibu guru, dan ibu guru itu berbicara di depan banyak anak-anak, ya… namanya pembawa acara juga, tentu saja, dengan embel-embel ibu guru. Sungguh sebuah kesimpulan yang cerdas bukan ? he..he…Dalam hati saya bersyukur anak itu menyerap kata yang baik, tapi juga cemas jangan-jangan perilaku dan ucapan “buruk” orangtuanya terutama saya ibunya, kelak bukan tidak mungkin keluar dari lidahnya yang lincah itu. Astaghfirullah …


Di sela-sela obrolan ringan siang itu, kami berpelukan hangat. Si kecil berbahagia dengan temuannya sementara saya tak henti berdoa dalam hati agar kiranya Allah swt terus membimbing saya, yang sedang belajar menjadi ibu yang sukses mendidik anak-anaknya dalam ridlo-Nya ini, untuk bisa menjaga lisan.


Amiiin …


(Ini tulisan lama, saat Cici baru masuk sekolah)

18 komentar:

  1. Iya Cici, Guru yang bicara di depan itu, Ibu Guru pembawa acara. Ibu Guru presenter! Sekarang Cici sudah kelas berapa, sayang?

    BalasHapus
  2. gara-gara sering liat ibu guru ngomong didepan terus jadi ada julukan baru buat ibu guru..
    "ibu guru pembawa acara"...hehehe

    BalasHapus
  3. Sebuah catatan lama yg inspiratif,sebuah pemikiran yg tak terduga ya ceu...ih pastinya lucu banget anaknya ceuceu...berarti sekarang udah besar ya anaknya ?

    BalasHapus
  4. @ Eka & Ritma : hehe ... vocabulary baru
    @ Ateh : Teh, blog-nya dikuni ya... kenapa? saya jadi susah masuk nih hiks

    @ all : alhamdulillah, cici sudah kelas dua SD sekarang ini.

    BalasHapus
  5. wei...seragamnya bagus!!! warnanya kuning...
    jilbabnya juga bikin makin cantik. top deh.
    semoga jadi anak yang paling pintar di sekolahnya

    BalasHapus
  6. anak kecil memang jauh lebih pintar dalam mengekspresikan isi hati nya ya mba.

    BalasHapus
  7. wah pasti sulit ya bu melepasnya pada hari pertama dia bersekolah

    BalasHapus
  8. lucu banget mbak..

    sama kayak saya dong, lahir bulan desember.. tapi TKnya 4tahun soalnya saban hari ngrengek terus pengen sekolah hihihi


    kangen mama saya lagi jadinya.. yang bahkan belom sempet lihat saya di wisuda

    BalasHapus
  9. biarkan anak belajar dan mengembangkan imajinasinya... orang tua berperan sebagai pembimbing dan wasit ketika anak amelakukan kesalahan... :D

    BalasHapus
  10. hehee... anak anak sekarang emang pintar dan cerdas

    BalasHapus
  11. menarik, cerita sederhana yang himkahnya luar biasa. salam buat puterinya ya mbak hehe

    BalasHapus
  12. Ih meuni lucu teh...
    bagus de, jangan kayak om ya..dulu oma males sekolah. jadi kaya sekarang deh, hehehe

    BalasHapus
  13. begitulah anak2. mereka masih polos dan celetukannya kadang bikin kita merasa geli ya.
    anaknya cantik, mbak.

    BalasHapus
  14. Cici cantik dan cerdas ya mbak...
    Anak-2 emang paling bisa menirukan, aku sendiri seringkali merasa kewalahan kok.
    Kita masih harus banyak belajar utk menjadi ibu yg baik... saling mengingatkan ya mbak.

    BalasHapus
  15. Wah...pasti sekarang non Cici lebih pintar sekarang...

    BalasHapus

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...